Wayang Beber & Wayang Klithik Lengkap Perbedaan, Sejarah, dan Solusi

Wayang Beber & Wayang Klithik Lengkap Perbedaan, Sejarah, dan Solusi

Daftar Isi

Wayang Beber & Wayang Klithik Lengkap Perbedaan, Sejarah, dan Solusi 



Pendahuluan

Wayang Beber dan Wayang Klithik adalah dua jenis wayang Jawa yang jarang dikenal masyarakat luas, meskipun memiliki sejarah, bentuk visual, dan gaya penceritaan yang unik. Banyak orang mencari perbedaan antara Wayang Beber dan Wayang Klithik, baik dari sisi asal-usul, cara pertunjukan, maupun karakter visualnya. Melalui artikel ini, saya mencoba memahami kedua jenis wayang tersebut dari sudut pandang pembaca awam yang ingin tahu: apa sebenarnya ciri khas Wayang Beber? Bagaimana bentuk dan fungsi Wayang Klithik? Dan mengapa keduanya jarang muncul dalam pentas wayang modern?

Dengan membaca beberapa sumber, baik kajian estetika wayang klithik maupun penjelasan tentang wayang beber, saya mencoba merangkum perbedaan, persamaan, serta relevansinya bagi masyarakat hari ini. Tulisan ini bertujuan membantu pembaca mengenal dua warisan budaya yang sering terlupakan, sekaligus mengajak kita melihat bagaimana nilai-nilai tradisi dapat disesuaikan dengan kebutuhan zaman sekarang.

Saya bukan pakar; saya hanya penikmat dan kadang-kadang pengamat yang kangen melihat wayang. Setelah membaca beberapa sumber dan mencoba menelaahnya dengan cara saya sendiri yang sederhana, saya ingin menuliskan pemikiran tentang dua bentuk wayang yang jarang jadi sorotan: Wayang Beber dan Wayang Klithik. Saya menulis ini sebagai awam yang merasa perlu mengenal dan mengingatkan bahwa warisan ini jangan dianggap remeh.

Analisis Perbedaan Kunci Wayang Beber dan Wayang Klithik

Perbedaan Sejarah dan Akar Komunal

Pertama, soal sejarah. Dari yang saya pahami secara awam, Wayang Beber termasuk jenis wayang yang sangat tua, bahkan banyak ahli bilang ia semacam cikal bakal penceritaan wayang yang dipertunjukkan secara visual. Wayang Beber bekerja dengan gulungan kain atau kertas yang bergambar rangkaian adegan, sejenis komik tradisional yang digelar secara horizontal dan dibacakan sambil disulih atau diceritakan oleh pembawa cerita. Ia berkembang di lingkungan keraton dan pesantren, menjadi media dakwah dan pendidikan sekaligus hiburan. Sementara itu, Wayang Klithik yang secara visual sering berupa patung atau figur kayu yang digerakkan, bukan kulit seperti wayang kulit, lebih banyak dikenal di daerah Jawa bagian timur, misalnya di Madura dan sekitarnya, serta punya varian lokal. Klithik punya sejarah yang berakar pada tradisi desa, permainan rakyat, dan kadang menjadi bagian sakral pada upacara tertentu. Jadi, secara sejarah, beber terasa lebih naratif religius dan klithik lebih liris komunal, tetapi keduanya sama sama tua dan rentan terlupa.

Perbedaan Visual dan Estetika

Kedua, visual. Untuk saya sebagai orang awam, perbedaan visualnya langsung kelihatan. Wayang Beber menonjol lewat gambar dua dimensi yang dituangkan pada gulungan. Gambar gambar itu sering padat ornamen, simbol, dan tiap panel punya tugas naratif ada yang menunjukkan suasana, ada yang menunjukkan tokoh, ada yang menunjukkan aksi. Penontonnya melihat gulungan bergeser sedikit demi sedikit sambil pendongeng atau pemberi suluk membacakan. Sedangkan Wayang Klithik biasanya berbentuk figur tiga dimensi dari kayu, kadang kecil, dengan ukiran sederhana. Penggerakannya dimainkan seperti boneka kayu dan efek visualnya muncul dari gerak serta bayang bayang jika dipertunjukkan di depan layar. Klithik lebih plastis walau sering kali tanpa detail halus seperti wayang kulit. Dari segi warna, beber cenderung datar tetapi informatif, sedangkan klithik cenderung alami, serat kayu, sapuan cat, bentuk bentuk yang kasar namun ekspresif.

Perbedaan Narasi dan Ritme Penceritaan

Ketiga, narasi. Wayang Beber memakai teknik penceritaan yang lekat dengan penuturan panjang. Si dalang atau pembawa cerita membukakan gulungan, menerangkan panel demi panel, menjelaskan latar, motivasi tokoh, dan pesan moral. Bentuk narasinya mendekati cerita epik yang tersambung, sering bercampur dengan syair atau kidung. Sementara Klithik biasanya mengandalkan dialog dan adegan hidup, narasinya lebih ringkas, mengandalkan improvisasi pemain dan interaksi dengan penonton. Kalau Beber terasa seperti membaca kitab sejarah yang digambarkan, Klithik seperti menonton percakapan di warung yang tiba tiba berubah jadi lakon. Secara mendasar, beber punya ritme yang mengajar dan klithik punya ritme yang bermain.

Tantangan Pelestarian dan Peluang Relevansi Kontemporer

Penyebab Kurangnya Popularitas

Kenapa kedua jenis ini kurang populer? Ada beberapa alasan praktis yang saya lihat. Pertama, produksi dan perawatan. Gulungan beber rentan rusak, kertas atau kain lama mudah sobek, pudar, atau dimakan usia. Figur klithik dari kayu juga butuh perawatan, cat bisa retak, engsel bisa longgar. Kedua, akses pementasan. Wayang kulit dan golek lebih mudah dipadukan dengan gamelan besar untuk pentas formal dan tur pasar seni, sementara beber memerlukan ruangan gelap, fokus penonton pada gulungan, dan klithik butuh setting tradisional yang tidak selalu tersedia. Ketiga, selera audiens modern. Generasi sekarang mencari visual yang kuat, layar besar, efek suara, tempo cepat. Beber yang lambat dan klithik yang sederhana sering dianggap kurang menarik. Keempat, kurangnya pewarisan keterampilan, tukang gambar besar untuk beber dan pengrajin klithik kian sedikit, generasi muda sering memilih profesi lain.

Kekuatan dan Solusi di Era Digital

Meski demikian, saya melihat kekuatan relevansi bagi zaman sekarang. Pertama, beber adalah sumber pengetahuan visual lokal yang sangat kaya. Ia menyimpan versi cerita, simbol, pakaian, dan peta kosmologi lama yang sulit diperoleh lewat teks. Di era digital, beber bisa didigitalisasi, digulung secara virtual, dipindai, diberi narasi suara modern sehingga generasi muda bisa mengaksesnya lewat ponsel. Klithik, dengan bentuk fisiknya, bisa menjadi basis proyek kriya kontemporer, kolaborasi desainer muda dan pengrajin lokal untuk menghasilkan bentuk yang tetap tradisional namun punya daya tarik estetis modern.

Pesan saya sebagai orang yang menyayangi warisan. Kedua bentuk ini harus diselamatkan bukan hanya sebagai museum artifact, tetapi dimasukkan ke dalam praktik kontemporer. Caranya bisa sederhana, workshop pengrajin, program residensi seniman, kurasi pementasan di festival budaya, kolaborasi dengan sekolah untuk kurikulum seni lokal, atau digital storytelling. Pemerintah dan komunitas seni perlu memberi insentif agar pengrajin merasa tetap layak menjalani profesi ini.

Penutup: Menjaga Keragaman Budaya sebagai Identitas Kolektif

Ada hal personal yang ingin saya sampaikan. Ketika saya melihat foto foto beber dan klithik, saya merasakan sesuatu yang asli, sebuah pertemuan antara manusia, cerita, dan benda. Kita sering memperdebatkan modernitas dan tradisi seolah harus memilih, padahal jalan tengah bisa dibuat. Memadukan teknik digital untuk memperpanjang umur beber atau memberi sentuhan desain kontemporer pada klithik agar cocok menjadi produk kreatif bernilai jual. Lebih dari itu, memberi ruang pada tradisi ini berarti menjaga keragaman budaya kita, sebuah modal sosial yang sangat berharga untuk identitas kolektif.

Sebagai penutup, saya mengajak pembaca untuk berpikir. Warisan seperti Wayang Beber dan Wayang Klithik bukan hanya objek nostalgia. Mereka adalah gudang cerita, teknik, dan estetika yang bisa memberi makna baru di zaman ini. Jika kita benar benar peduli pada keberlanjutan budaya, mari mulai dari hal sederhana seperti menonton, mendokumentasikan, belajar, dan berbagi. Bukan agar masa lalu hidup persis sama, tetapi supaya nilai nilai kreatif dan kearifan lokalnya terus memberi inspirasi pada generasi masa depan.