Sunan Kalijaga dan Lakon Dewa Ruci: Transformasi Wayang sebagai Media Dakwah

Sunan Kalijaga dan Lakon Dewa Ruci: Transformasi Wayang sebagai Media Dakwah

Table of Contents

Sunan Kalijaga dan Lakon Dewa Ruci: Transformasi Wayang sebagai Media Dakwah.

Peran Sunan Kalijaga, Dewa Ruci, wayang dakwah — banyak orang mencari tahu bagaimana wayang berubah dari media ritual menjadi sarana dakwah dan pendidikan. Artikel ini menelaah lakon Dewa Ruci, keterkaitan tradisi lisan Jawa, dan bagaimana pesan spiritual itu mengalir sebagai dakwah budaya melalui figur penting seperti Sunan Kalijaga.


Sunan kali jaga dan brotoseno,dewa ruci


Teks Asal (Landasan Humanis dan Tradisi Lisan)

Lakon Dewa Ruci dalam pewayangan adalah lakon yang sering dikaitkan dengan Sunan Kalijaga, karena secara budaya, di dalamnya terkandung unsur religi yang mengajarkan manusia untuk mengetahui sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan hidup). 

Walaupun secara historis tidak ada catatan tertulis yang memastikan bahwa yang membuat lakon Dewa Ruci adalah Sunan Kalijaga, banyak dosen seni mengatakan bahwa ini adalah sanggit (gubahan) yang turun-temurun dari leluhur Jawa, yang konon berasal dari tradisi Sunan.

Lakon Dewa Ruci menceritakan Bimasena atau Brotoseno (salah satu tokoh Pandawa) yang ingin mencari atau mengetahui ilmu sejati dari sang guru, Begawan Durna. Duryudana (Raja Kurawa) mempengaruhi Durna untuk menjadikan hal ini sebagai jalaran, atau jalan untuk menumpas Brotoseno.

Akan tetapi, Durna adalah maha guru yang mempunyai pakem becik (pedoman kebaikan) dan memiliki kawruh (pengetahuan) mengenai mana yang buruk dan baik. Durna memberikan arahan kepada Werkudara agar mencari Kayu Gung Susuhing Angin di sebuah hutan yang gawat dan angker.

Tanpa berpikir panjang, Brotoseno langsung berangkat menuruti perintah guru. Walau terlihat seperti menjerumuskan, Durna sesungguhnya mengetahui bahwa arahannya adalah suatu petunjuk bagi Brotoseno.

Perjalanan Bima Menemui Jati Diri

Akhirnya, Brotoseno sampai di hutan dan bertemu dengan rasaksa yang merupakan jelmaan dari Bethara Bayu. Setelah bertarung, buta raseksa itu berubah wujud karena diruwat oleh Brotoseno. Karena melawan dengan hati suci, Brotoseno mendapat petunjuk dari Dewa Bayu.

Kayu Gung Susuhing Angin adalah sebuah kata semu yang maknanya:

  • Kayu Gung adalah keinginan agung.

  • Susuhing Angin adalah tempat angin (ruang spiritual).

Pengertian dari kalimat tersebut adalah keinginan agung jika dilandasi dengan niat yang jauh dari nafsu, maka perjalanannya akan mendapat petunjuk yang benar dan baik, tanpa ada unsur negatif. Keinginan yang tulus akan mendapat sesuatu yang positif. 

Semakin bersyukur dan percaya kepada Durna bahwa ia mendapat petunjuk, ia pun kembali menghadap Durna. Kurawa terkejut Brotoseno selamat dari hutan gawat.Kemudian Durna menyuruh lagi Brotoseno untuk mencebur ke samudra. Werkudara segera berangkat, sementara Kurawa menganggap ini adalah akhir hidup Brotoseno. 

Ketika Brotoseno menghadap samudra, timbul rasa ketakutan. Namun, dengan tekad kuat, dia segera melangkah ke samudra. Akhirnya, dia bisa bertemu dengan Dewa Ruci dan mendapat ilmu sangkan paraning dumadi.

Makna Pertemuan dengan Dewa Ruci

Gambaran Brotoseno melangkah ke samudra adalah simbol seorang manusia yang hidup masuk dalam dunia. Walau banyak rintangan, namun jika disertai niat yang tulus, gagah, manembah pada Tuhan, dan percaya perlindungan, maka dia akan menemukan jati diri.

Dewa Ruci adalah gambaran jati diri Brotoseno yang menuntun pada apa arti kehidupan. Sangkan paraning dumadi adalah manusia yang mengetahui:

  1. Dia diciptakan oleh siapa.

  2. Untuk apa dia hidup di dunia.

  3. Apa yang akan dia bawa dan menghadap siapa ketika kewajibannya di dunia usai.

Di sini sangat dalam pelajaran yang diambil. Seorang manusia memang harus ingat siapa Penciptanya, di mana pun, ke mana pun, dan melakukan apa pun. Baik dan buruk adalah tanggung jawab yang akan dia terima sebagai akibat dan anugerah. Seorang manusia akan membawa amal dan ilmu ketika dia tiada. Sapa sing nandur, dheweke sing ngundhuh (siapa yang menanam, dia yang menuai); siapa yang membuat, dia akan memakainya sendiri.

Menafsirkan Dewa Ruci - Makna Batin dan Sangkan Paraning Dumadi

Kisah, Simbol, dan Makna Eksistensial

Lakon Dewa Ruci adalah salah satu lakon wayang yang kaya simbol. Dari teks Anda terlihat garis besar cerita: Bima dilempar dalam serangkaian ujian oleh gurunya, Durna. Ia bertemu raksasa, menghadapi ancaman, dan akhirnya menempuh samudra untuk bertemu Dewa Ruci perjumpaan yang mengandung penyingkapan jati diri dan pengetahuan spiritual. Dalam lapisan simbolis, kayu gung susuhing angin menjadi metafora: "keinginan agung yang tidak berlandaskan nafsu" dan "tempat angin" sebagai ruang spiritual yang menuntun.

Sangkan Paraning Dumadi sebagai Tujuan Dakwah Kultural

Konsep sangkan paraning dumadi mengetahui asal-muasal dan tujuan hidup adalah pusat pembelajaran spiritual dalam lakon ini. Inilah pesan moral yang relevan dan menjadi kunci ketika wayang berfungsi sebagai media dakwah, bukan memaksa keyakinan tertentu, tetapi mengajarkan etika, pengingatan asal-usul, dan penumbuh kebaikan batin.

Sunan Kalijaga - Perantara Budaya dan Dakwah

Figur Historis dan Legenda Lisan

Dalam tradisi budaya Jawa, figur Sunan Kalijaga dipandang sebagai tokoh penting yang menggunakan budaya lokal, termasuk wayang sebagai sarana dakwah yang halus dan efektif. Banyak dosen seni dan pelaku budaya menyatakan bahwa sanggit serta lakon-lakon yang mengandung ajaran moral besar menjadi bagian dari warisan yang mengalir dari tradisi Sunan.

Metode Dakwah: Inkulturasi dan Pembelajaran Halus

Sunan Kalijaga—sebagai simbol metode—mewakili bagaimana pesan keagamaan disampaikan melalui bahasa budaya: wayang sebagai cerita, gamelan sebagai suasana, sinden sebagai penjelas hati. Metode ini disebut inkulturasi, yakni memasukkan nilai-nilai baru ke dalam bentuk-bentuk lokal sehingga pesan lebih mudah dicerna.

Dari Ritual ke Dakwah: Proses Transformasi

Wayang sebagai Media Ritual Tradisional

Pada mulanya, banyak unsur wayang terkait dengan ritual pertunjukan yang mengandung unsur magis, ruwatan, atau permohonan keselamatan. Gunungan, sesajen, dan doa-doa merupakan bagian dari tata upacara yang memberi makna spiritual kepada masyarakat. Di tingkat ini, wayang berfungsi sebagai jembatan antara manusia dan dunia gaib.

Arah Baru: Pendidikan Moral dan Dakwah Kultural

Transformasi terjadi ketika unsur ritual tidak dihapus, melainkan diperkaya dengan muatan nilai moral yang jelas: pengajaran tentang etika, ketaatan, self-awareness, dan tanggung jawab sosial. Lakon seperti Dewa Ruci berfungsi sebagai pelajaran hidup yang bisa diterima lintas kelas sosial.

Relevansi Modern Bagaimana Dewa Ruci Mengajarkan Hidup Hari Ini

Niat Tulus, Pengorbanan, dan Integritas

Dari kisah Brotoseno kita belajar bahwa “keinginan agung” jika dilandasi niat yang bersih akan membuahkan petunjuk. Dalam konteks modern adalah Integritas dan ketulusan menjadi kompas moral di tengah gempuran materialisme.

Ujian sebagai Proses Pembelajaran

Hutan angker, raksasa, dan samudra adalah simbol ujian hidup. Pesan Dewa Ruci mengajarkan bahwa melalui ujian berbalut niat suci, manusia bisa memahami siapa dirinya dan tanggung jawab yang harus diemban.

Dakwah Kultural sebagai Solusi Plural

Menggunakan budaya cerita rakyat dan seni tradisional, untuk menyampaikan nilai moral adalah strategi efektif dalam masyarakat majemuk. Wayang yang sarat nilai etika dapat menjadi sarana dialog, penguatan identitas, dan pendidikan karakter.

Menjaga Warisan, Menyampaikan Pesan

Lakon Dewa Ruci dan peran yang diasosiasikan dengan Sunan Kalijaga menunjukkan bagaimana budaya lokal dapat menjadi wadah dakwah yang lembut, mendalam, dan langgeng. Pesan inti dari kisah Brotoseno adalah abadi yaitu niat yang tulus, keberanian memasuki samudra rintangan, dan kembali dengan ilmu yang menuntun pada pemahaman asal serta tujuan hidup (sangkan paraning dumadi). Itu adalah ajaran universal—cocok dijadikan pedoman moral dalam kehidupan modern, sekaligus bukti bahwa wayang mampu bergerak dari peran ritual menuju peran dakwah dan pendidikan hati.