Mengenal Wayang Gunungan Lengkap Makna, Filosofi dan Simbol Kosmologi Jawa
Mengenal Wayang Gunungan Lengkap Makna, Filosofi dan Simbol Kosmologi Jawa
Gunungan, atau yang disebut juga kayon, adalah salah satu elemen paling penting dalam pakeliran wayang kulit Jawa. Ia bukan sekadar perabot panggung atau alat pembuka lakon, melainkan simbol kehidupan itu sendiri. Bentuknya yang menyerupai segitiga ke atas bukanlah kebetulan estetis, melainkan lambang dari keseluruhan tatanan kosmos, sekaligus doa manusia kepada Sang Pencipta.
Gunungan adalah naskah visual, bahasa diam dari filsafat Jawa yang menyatukan alam, manusia, dan Tuhan dalam satu bingkai makna.
Bentuk Gunungan: Segitiga yang Menyatu ke Langit
Jika kita memandangi gunungan, hal pertama yang tampak adalah bentuknya — seperti segitiga mengerucut ke atas. Bagi orang Jawa, bentuk ini bukan sekadar geometris. Ia adalah simbol tangan yang menguncup, asta yang menengadah dalam sikap berdoa. Bentuk mengerucut ini menggambarkan gerak jiwa manusia dari bawah, dari bumi, menuju ke atas — ke arah Gusti Kang Murbeng Dumadi.
Segitiga itu mengajarkan tentang perjalanan spiritual manusia: dari kerendahan menuju keagungan, dari kefanaan menuju keabadian, dari banyak menuju satu.
Gunungan adalah bentuk doa yang membeku dalam rupa. Saat dalang menancapkan kayon di tengah kelir, sebenarnya ia sedang mengundang kesadaran kolektif: bahwa setiap kisah yang akan dimainkan adalah bagian dari perjalanan batin manusia. Dalam bentuk yang hening, gunungan berkata, “Inilah hidup. Segala yang naik dan turun, datang dan pergi, bermula dan berakhir — semuanya menuju pada yang satu.”
Dalam pakeliran, ketika dalang memulai sabetan dengan kayon di tengah, suasana menjadi sakral. Ia seperti seorang imam yang menyiapkan altar. Bentuk segitiga yang mengarah ke atas seolah mengingatkan penonton bahwa seni bukanlah hiburan semata, tetapi bentuk manembah — penghormatan kepada pencipta kehidupan.
Isi Gunungan: Miniatur Alam dan Kehidupan
Di dalam gunungan, terdapat berbagai gambar dan simbol: rumah, hewan, pepohonan, gunung, dan kadang juga manusia kecil. Semua elemen itu bukan sekadar hiasan visual, melainkan representasi dari dunia nyata yang di-miniaturkan dalam ruang sakral.
Ada rumah, sebagai simbol kehidupan manusia dan keteraturan sosial. Rumah melambangkan tempat kembali, tempat bernaung, tempat keluarga berkumpul dan menanam budi. Ia adalah “bumi kecil” di mana manusia belajar makna tanggung jawab.
Ada pepohonan, yang melambangkan alam yang memberi napas, tempat berlindung bagi semua makhluk. Pohon bukan sekadar objek; dalam pandangan Jawa, pohon adalah makhluk hidup yang menyimpan ruh kehidupan.
Ada hewan-hewan, mewakili gerak naluri, tenaga hidup, dan dinamika alam. Mereka adalah bagian dari kesatuan ciptaan, sama-sama memiliki hak untuk hidup di dunia yang sama.
Gunungan dengan demikian menjadi peta dunia miniatur — seperti cermin dari jagad gede (alam semesta) yang direduksi dalam jagad cilik (mikrokosmos manusia). Segala sesuatu yang tergambar di dalamnya adalah simbol bahwa semua ciptaan adalah karya Tuhan. Tak ada yang berdiri sendiri; rumah, pohon, dan hewan semuanya menyatu dalam satu tatanan kosmis yang suci.
Dalam bahasa simbolik Jawa, hubungan itu disebut manunggaling jagad cilik lan jagad gede. Gunungan adalah pengingat agar manusia menyadari dirinya bagian dari alam, bukan penguasa alam. Ia hidup bersama semesta, bukan di atasnya.
Kayon Gapuran dan Kayon Blumbangan: Dua Cermin Dunia
Dalam dunia pedalangan, terdapat dua jenis kayon yang paling umum digunakan: kayon gapuran dan kayon blumbangan. Keduanya sama-sama berbentuk segitiga, tetapi memiliki makna dan fungsi yang berbeda.
Kayon Gapuran
Kayon gapuran menggambarkan gunung, gapura batu, dan pepohonan besar. Gambar gapura melambangkan ambang batas, gerbang antara dua dunia: dunia manusia dan dunia spiritual, dunia luar dan dunia dalam. Ketika dalang menancapkan kayon gapuran di tengah kelir, itu berarti sedang digambarkan suasana alam: pegunungan, hutan, istana, atau tempat sakral.
Dalam beberapa lakon, gunungan gapuran juga dipakai untuk menandakan tempat suci, seperti gua pertapaan, tempat lahirnya wahyu, atau tempat di mana para ksatria mencari pencerahan batin.
Kayon Blumbangan
Sementara itu, kayon blumbangan adalah penggambaran air — danau, kolam, samudra, atau sungai. Di bagian belakangnya terdapat lukisan ombak dan ikan, simbol dari kehidupan yang cair, tenang, namun dalam. Air di sini melambangkan kesejukan, kesucian, dan pembaruan.
Ketika kayon blumbangan muncul, suasana menjadi teduh; dalang menandakan taman, danau, atau tempat peristirahatan batin para tokoh. Dalam pengertian yang lebih dalam, kayon blumbangan adalah lambang jiwa yang jernih. Ia mengajak manusia untuk merenung seperti air yang tenang: memantulkan langit tanpa menentang arah cahaya.
Kedua jenis gunungan ini — gapuran dan blumbangan — adalah dua sisi kehidupan. Gunung melambangkan kekokohan dan pencarian ke atas; air melambangkan kelembutan dan penerimaan ke bawah. Gunungan mengajarkan keseimbangan antara keras dan lembut, antara gerak dan diam, antara api semangat dan air kesadaran.
Api di Balik Gunungan: Simbol Ujian dan Pembersihan
Jika kita membalik gunungan, ada satu elemen penting yang jarang diperhatikan penonton awam: gambar api. Api di balik gunungan melambangkan suasana panas, perang, dan amarah. Tapi dalam makna spiritual, api bukan sekadar simbol kehancuran. Ia juga simbol transformasi — perubahan dari kotor menjadi murni, dari gelap menjadi terang.
Api mengingatkan manusia pada proses spiritual: bahwa untuk mencapai pencerahan, seseorang harus melalui pembakaran ego. Dalam lakon wayang, ketika api ditampilkan, dalang sedang mengajak penonton memahami bahwa setiap perjalanan hidup memiliki masa panas, masa ujian, masa di mana manusia diuji kesabaran dan keimanannya.
Api juga bisa menjadi lambang semangat hidup. Tanpa api, tak ada cahaya; tanpa ujian, tak ada pertumbuhan. Dengan begitu, api di balik gunungan bukanlah ancaman, melainkan pengingat bahwa panas adalah bagian dari perjalanan menuju keseimbangan.
Gunungan sebagai Doa dan Manembah
Gunungan bukan sekadar alat peraga dalam pertunjukan. Ia adalah doa yang dipahat menjadi bentuk.
Secara spiritual, gunungan mengingatkan manusia agar senantiasa manembah kepada Pencipta.
Perjalanan Manusia
Dalam setiap detailnya, manusia diajak menyadari bahwa semua yang ada di dunia gunung, air, api, tumbuhan, hewan, dan manusia adalah satu kesatuan ciptaan Tuhan.
Ketika dalang menancapkan gunungan, ia seakan-akan sedang berkata: “Sebelum cerita dimulai, marilah kita menundukkan hati.”
Awal dan Akhir
Gunungan menjadi penanda awal dan akhir lakon bukan tanpa alasan. Di awal, ia melambangkan kelahiran dan permulaan kehidupan. Di akhir, ia melambangkan kematian dan kembalinya semua ke asal. Dari tanah kembali ke tanah, dari cahaya kembali ke sumber cahaya.
Dalam satu siklus pakeliran, gunungan membuka dan menutup jagad kelir. Di situlah terkandung makna besar: bahwa hidup adalah pentas, dan setiap jiwa akan menutup lakonnya dengan kembali pada keheningan.
Inti Filosofi Gunungan Wayang
Gunungan adalah simbol jagad raya (kosmos) dan kehidupan manusia. Setiap bagian menggambarkan unsur alam, kehidupan, dan spiritualitas.
Bagian dan Maknanya:
-
Pohon Kalpataru – Pohon kehidupan, sumber keseimbangan alam semesta dan simbol kesuburan.
-
Kera, Burung, Harimau, Kerbau – Lambang sifat dan naluri manusia (tenaga, kesabaran, kebebasan, kekuatan).
-
Kepala Raksasa & Raksasa Kembar – Simbol kekuatan destruktif, ego, dan hawa nafsu yang harus dikendalikan.
-
Rumah & Bledegan (pintu rumah) – Dunia manusia, tempat hidup sosial dan spiritual; lambang keteraturan.
-
Gunungan secara keseluruhan – Bentuk segitiga ke atas melambangkan tangan berdoa (asta manembah), menuju Tuhan.
Makna Keseluruhan
Gunungan adalah peta kosmologi Jawa — menggambarkan hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.
Ia menjadi pengingat bahwa hidup adalah perjalanan dari dunia fana menuju kesadaran spiritual.
Kesimpulan:
Gunungan bukan sekadar properti wayang, melainkan doa visual yang mengajarkan keseimbangan, pengendalian diri, dan kesadaran akan kesatuan seluruh ciptaan.
Gunungan dan Manusia: Menyatu dengan Alam
Gunungan mengajarkan bahwa manusia bukan penguasa alam, melainkan bagian dari alam itu sendiri. Semua gambar di dalamnya — rumah, pohon, hewan — adalah lambang kehidupan yang berkelindan. Manusia yang melupakan makna gunungan berarti melupakan asalnya.
Dalam filsafat Jawa, harmoni antara manusia dan alam disebut rukun alam lan dumadi. Selama manusia masih serakah, merusak hutan, menebang pohon tanpa kesadaran, ia telah menyalahi ajaran gunungan. Karena gunungan mengajarkan kesatuan yang lembut antara ciptaan dan pencipta, antara kehidupan dan keseimbangan.
Ketika seseorang menyadari makna ini, gunungan bukan lagi sekadar benda di panggung, melainkan cermin hidupnya sendiri.
Bentuknya yang kokoh mengajarkan keteguhan; gambarnya yang kaya mengajarkan keragaman; arah puncaknya mengajarkan tujuan hidup yang luhur: kembali kepada Yang Maha Tunggal.
Gunungan dalam Tangan Dalang
Bagi seorang dalang, gunungan adalah instrumen utama untuk mengatur dunia di balik kelir.
Dengan gunungan, dalang bisa menggambarkan suasana: tenang, panas, hening, bergolak, atau berakhir.
Kayon gapuran bisa menandakan gunung atau istana, sedangkan kayon blumbangan menandakan air, danau, atau samudra.
Setiap gerak kayon di tangan dalang adalah bahasa isyarat yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang peka terhadap rasa.
Ketika dalang menggerakkan gunungan ke kiri dan kanan, itu bisa berarti angin bertiup, alam berubah, atau dunia sedang berguncang.
Ketika gunungan menancap diam di tengah, itu berarti keseimbangan sedang dijaga.
Dan ketika gunungan ditarik keluar kelir, artinya dunia selesai — lakon berakhir, hidup mencapai sunyinya.
Dalang memahami bahwa gunungan adalah simbol kekuasaan Tuhan dalam jagad wayang. Ia memulai, mengatur, dan menutup segala sesuatu. Dalam arti itu, dalang adalah representasi dari Sangkan Paraning Dumadi — asal dan tujuan kehidupan.
Gunungan dalam Zaman Modern
Di tengah modernitas, gunungan masih bertahan.
Bentuknya kini tampil dalam berbagai versi: ada yang dimodifikasi secara artistik, dijadikan logo, ikon budaya, bahkan ornamen arsitektur. Namun makna spiritualnya tidak boleh hilang.
Beberapa dalang muda mulai berinovasi dengan menggambar ulang kayon: menambahkan unsur modern seperti kota, pabrik, kendaraan, atau simbol teknologi. Tetapi meskipun bentuknya berubah, gunungan tetap berbicara tentang hal yang sama — keteraturan, keseimbangan, dan hubungan manusia dengan alam semesta.
Gunungan modern seharusnya tidak kehilangan ruhnya sebagai pengingat: bahwa di balik kemajuan teknologi, manusia tetap harus berpasrah, tetap harus berdoa, tetap harus menyadari bahwa ia hanyalah bagian kecil dari semesta yang luas.
Penutup: Gunungan sebagai Cermin Jiwa dan Jagad
Gunungan adalah mikrokosmos. Ia mencerminkan dunia luar dan dunia dalam sekaligus. Gunungan berbicara tentang manusia yang berdoa, tentang alam yang hidup, dan tentang Tuhan yang menjadi sumber segala kehidupan. Ia mengajarkan bahwa hidup adalah perjalanan dari dasar menuju puncak, dari materi menuju makna, dari kebisingan menuju keheningan.
Dalam setiap lakon wayang, gunungan hadir di awal dan di akhir — sama seperti kehidupan manusia. Kita datang dari keheningan dan akan kembali ke keheningan. Di antara dua keheningan itu, ada perjalanan panjang yang disebut “lakon hidup”.
Maka bila suatu saat panjenengan melihat gunungan berdiri tegak di tengah kelir, jangan hanya melihat bentuknya. Lihatlah doa di dalamnya. Lihatlah tangan yang menguncup, arah yang menanjak, dan harmoni antara api, air, dan angin. Gunungan mengajarkan manusia untuk eling lan waspada — ingat asalnya, dan sadar tujuannya.
Wayang boleh selesai, pertunjukan boleh usai, tetapi pesan gunungan tetap abadi:
Hidup adalah sembah, hidup adalah keseimbangan, dan manusia hanyalah bagian kecil dari semesta yang dicipta oleh Yang Maha Kuasa.
.jpg)
