Kothak, Cempala, Keprak, dan Sabetan Lengkap Teknis Pertunjukan Wayang
Kothak, Cempala, Keprak, dan Sabetan Lengkap Teknis Pertunjukan Wayang
Wayang bukan sekadar bayangan dan suara; ia adalah rangkaian teknik halus yang membuat tokoh-tokoh di balik kelir tampak hidup dan di antara semua keterampilan itu, selain kothak wayang terdapat teknik sabetan bersama tiga unsur penting cempala, keprak (kepyak), dan sabetan menempati posisi sentral.
Tulisan ini menggabungkan penjelasan teknis, filosofi, dan praktik panggung, sambil menjaga nuansa humanis dan asli dari pengamatan tradisional.
Kothak Wayang
Kothak wayang adalah sebuah kotak kayu tempat menyimpan seluruh wayang sebelum dan sesudah pertunjukan. Kotak ini berfungsi sebagai wadah utama yang menjaga wayang tetap aman dan teratur sesuai urutan tokoh. Saat pagelaran berlangsung, kothak wayang juga beralih fungsi menjadi tempat wayang, yang tampil dari kanan dan kiri jagad kelir wayang. Tengah antara kothak wayang dan tutup wayang adalah tempat duduk dalang untuk njejak (menendang) keprak dan dhodokan cempolo, yaitu alas untuk memukul cempala.
Pada sisi kothak inilah tempat memasang keprak atau kepyak, yaitu lempengan logam yang digantung sebagai alat pengatur irama. Bunyi keprak yang muncul dari kothak memberi tanda perubahan suasana dalam lakon. Dengan demikian, kothak bukan hanya wadah fisik, tetapi juga bagian penting dari sistem musikal dan ritmis pertunjukan wayang. Ia menjadi pusat kendali dalang, tempat suara, gerak, dan makna berpadu dalam satu titik.
Mengapa Cempala, Keprak, dan Sabetan Itu Vital?
Dalam pagelaran wayang, keseluruhan irama visual dan auditorial bergantung pada sinergi antara dalang dan pengiring. Cempala adalah ketukan jantung; keprak adalah aliran darah irama; dan sabetan adalah napas yang memberi gerak pada tokoh. Tanpa ketiganya, cerita kehilangan ritme, suasana, dan daya magisnya. Teknik-teknik ini bukan sekadar teknis; mereka adalah bahasa bersama antara dalang, sinden, pengrawit, dan penonton.
Cempala, Ketukan Jantung Pakeliran
Definisi dan Fungsi Teknis
Cempala adalah suatu alat memukul dalam bahasa Jawa (juga dikenal sebagai thuthuk). Cempala adalah alat pertama yang digunakan untuk memulai pagelaran oleh sang dalang. Ia dipukul pada ktitak/kothak (kotak suara) untuk memberi aba-aba awal kepada pengiring dan penanda pergantian suasana.
Cempala juga digunakan untuk:
-
Menghentikan atau menyirep/sirep gendhing (menghentikan iringan),
-
Mengatur irama ketika dalang melakukan suluk (nyanyian naratif),
-
Menandai dhodokan cempolo — pola ketukan yang memberi kode suasana: bila dhodokan tenan berarti suasana tenang; bila dhodokan cepat menandakan adegan sedang memanas.
Bahan, Bentuk, dan Teknik Memukul
Cempala biasanya terbuat dari kayu asem atau kayu jati; bagian atasnya bulat dan sering berukir di gagangnya. Teknik memukul cempala bukan sekadar memukul kuat atau lemah; dalang memakai variasi tekanan, sudut, dan jeda untuk menulis ritme halus. Ketukan ringan memunculkan nada redup yang mengajak sinden dan gamelan menahan napas; ketukan tegas memacu seluruh orkestra.
Filosofi Cempala
Secara simbolik, cempala adalah jantung yang berdetak. Ia memberi ritme kehidupan pada pertunjukan. Ketukan cempala yang tenang mengajarkan kesabaran; yang cepat mengingatkan pada kegelisahan dan konflik. Cempala memimpin bukan dengan paksaan, tetapi dengan penanda halus yang disepakati secara kolektif.
Keprak (Kepyak) — Aliran Irama yang Membelai
Apa itu Keprak?
Keprak (atau kepyak dalam beberapa kosakata) adalah susunan lempengan logam — monel atau perunggu — yang dipasang di samping kotak bunyi (kothak). Ada keprak yang berjumlah empat, ada pula enam; susunan ini menghasilkan bunyi seperti kemricik air ketika dipukul atau digesek oleh cempala atau tongkat kecil.
Peran Teknikal
Keprak adalah pasangan dari cempala. Jika cempala adalah jantung, maka keprak adalah aliran darah yang menghubungkan ritme-ritme kecil menjadi arus musik yang mengalun. Keprak mengiringi dan mengisi celah-celah antara ketukan cempala sehingga irama terasa penuh dan hidup. Ketika dalang memegang wayang dan mulai dialog, keprak memberi tekstur dan memberi sinyal kepada pengrawit untuk memilih gendhing yang sesuai.
Makna Suara Keprak
Suaranya yang seperti gemricik air memberi nuansa pembersihan dan kesejukan — secara filosofis ia bisa diartikan sebagai unsur air yang membersihkan dan menyucikan (analog dengan wudhu). Keprak membantu menurunkan ketegangan atau mengangkat mood sesuai kebutuhan narasi.
Sabetan — Seni Membuat Bayangan Hidup
Definisi Sabetan
Sabetan adalah gerak wayang — kemampuan dalang membuat gerakan wayang yang seolah hidup, tampak natural dari depan dan membentuk visual bayangan yang bermakna di belakang kelir. Ia adalah penghubung antara cerita yang diucapkan dan nilai-nilai yang hendak disampaikan.
Teknik Dasar Sabetan
Sabetan meliputi:
-
Gerak kepala (memaling, menunduk, menatap),
-
Gerak tubuh (mendekat, mundur, membungkuk),
Gerak tangan ( melambai, greget dialog penekanan gerakan tangan)
-
Gerak anggota tubuh pendukung (mengangkat pedang, menyilang, memegang panah),
-
Gerak ekspresif (gemetar, lemas, gagah).
Kunci sabetan yang baik: ekonomi gerak dalang harus menggunakan gerakan seminim mungkin yang tetap efektif menyampaikan emosi. Terlalu banyak sabetan membuat bayangan kacau namun terlalu sedikit membuat tokoh mati. Kesesuaian gerakan dengan karater tokoh wayang juga harus diperhitungkan. Misalnya tokoh buta raseksa, sedikit lambat terkadang tregel, sehingga terkesan sereng, trengginas dan ganas.
Hubungan Sabetan dengan Irama
Sabetan harus selaras dengan cempala dan keprak. Ketukan cempala memberi tanda awal gerak; keprak memberi aliran pengiring. Sabetan yang sinkron membuat penonton merasa bahwa cerita dipertontonkan, bukan sekadar diceritakan.
Sabetan sebagai Narasi Visual
Sabetan juga berperan sebagai sastra visual. Ketika dalang menampilkan adegan pertarungan atau adegan pertemuan antar tokoh, sabetan menerjemahkan emosi dan intention yang tidak bisa dijelaskan sepenuhnya oleh dialog. Penonton yang peka dapat membaca konflik batin, kebohongan, dan kebajikan lewat gerak bayangan itu.
Sinergi Ketiga Unsur Dan Bagaimana Mereka Bekerja Bersama
Cempala, keprak, dan sabetan adalah sistem komunikasi. Dalang memukul cempala untuk memberi sinyal; keprak mengisi dan menambah warna; sabetan bereaksi dan menghasilkan gambar di kelir. Hubungan ini memerlukan:
-
Kesepakatan ritme antara dalang dan pengiring (latihan bersama),
-
Kepekaan dalang terhadap reaksi sinden dan gamelan,
-
Kemampuan improvisasi, karena pagelaran hidup sering menuntut adaptasi tempo sesuai suasana penonton.
Contoh praktis: adegan sedih dimulai dengan dhodokan cempolo yang tenang; keprak mengalun pelan; dalang melambatkan sabetan — tokoh menunduk, menggenggam dada. Penonton merasakan hening yang terstruktur.
Latihan dan Penguasaan Teknik
Latihan Cempala dan Keprak
Pembelajaran cempala memerlukan latihan ritme dasar—pola dhodokan (dhodokan tenang, cepat, terputus). Dalang muda harus berlatih memukul pada kotak suara dengan pengaturan tekanan agar bunyi konsisten. Latihan keprak melibatkan koordinasi tangan kanan (memegang wayang) dan tangan kiri (mengontrol cempala/keprak). Pengiring perlu peka terhadap dinamika bunyi.
Mengasah Sabetan
Sabetan diasah lewat pengamatan dan pengulangan. Dalang menonton dalang lainnya, mempelajari bagaimana gerak kecil (sekali lempar, sekejap angkat) berdampak besar pada bayangan. Latihan di depan cermin atau kelir latihan membantu menilai proporsi gerak. Penguasaan posisi bayangan terhadap lampu juga penting denggan mengatur jarak, sudut, dan ketinggian lampu mempengaruhi profil bayangan. Hal ini seperti kamera ada zoom in, zoom out dan dekat jauh penampilan.
Kolaborasi dengan Pengiring
Sesi latihan bersama (rehearsal) menjalin bahasa ritme bersama. Dalang dan pengiring membuat sinyal-sinyal tak tertulis: pola cempala tertentu berarti perubahan mood; variasi keprak berarti intro lagu tertentu; sabetan tertentu menandai perubahan scene. Kesepakatan ini meningkatkan efektivitas pentas.
Filosofi Praktis: Mengapa Teknik Ini Lebih dari Sekadar Teknik?
Ketika kita memahami cempala, keprak, dan sabetan, kita sedang membaca cara masyarakat Jawa menyusun dialog antara suara, gerak, dan makna. Teknik-teknik ini mengajarkan:
-
Kesabaran (ketukan cempala yang tertata),
-
Keteraturan sosial (keprak sebagai aliran yang menyatukan),
-
Bahasa tubuh yang bertanggung jawab (sabetan sebagai komunikasi yang penuh tata krama).
Di balik keindahan panggung, ada nilai: keharmonisan, kebersamaan, dan rasa hormat terhadap ruang bersama. Teknik itu menyadarkan kita bahwa seni tradisi bukan hanya soal estetika, tetapi juga soal tata kelola emosional kolektif.
Tantangan dan Peluang dalam Era Modern
Di zaman sekarang, teknik tradisi menghadapi tantangan, seperti penonton urban yang cepat bosan, kompetisi hiburan modern, dan minimnya regenerasi. Namun ada juga peluang workshop, video pembelajaran, kolaborasi lintas seni, dan adaptasi inovatif (mis. penggunaan lampu LED untuk memodifikasi bayangan). Hal terpenting adalah menjaga esensi, yaitu cempala, keprak, dan sabetan tidak boleh dipisahkan dari makna mereka.
Penutup : Menjaga Detak, Mengalirkan Darah, dan Membuat Bayangan Hidup
Cempala, keprak, dan sabetan adalah tiga pilar teknis yang membuat wayang kulit tetap relevan dan bermakna. Mereka adalah bahasa musik-visual yang merajut rasa penonton, dalang, dan pengiring. Dengan melatih ketiganya secara berkelanjutan—dengan kesabaran, latihan, dan penghayatan filosofis—kita memastikan bahwa kelambu bayangan itu terus berbicara kepada generasi berikutnya.



