Janturan, Pocapan, Jejer Analisis Lengkap Panduan & Fondasi Dramaturgi

Janturan, Pocapan, Jejer Analisis Lengkap Panduan & Fondasi Dramaturgi

Daftar Isi

Janturan, Pocapan, Jejer Analisis Lengkap Panduan & Fondasi Dramaturgi


jejer dalam pakeliran Surakarta

Janturan, Pocapan, dan Jejer: Fondasi Narasi dalam Pakeliran

Dalam dunia pakeliran wayang kulit gaya Surakarta, setiap gerak, suara, dan narasi memiliki tempat yang tidak dapat dipisahkan dari struktur cerita. Sebuah lakon tidak pernah dimulai begitu saja; ia dibangun melalui rangkaian lapisan naratif yang mengantar penonton dari ruang sehari-hari menuju ruang batin lakon. Pada tahap inilah janturanpocapan, dan jejer menjadi pondasi dari seluruh alur wayang. Tanpa pemahaman mendalam tentang ketiganya, seorang dalang tidak akan mampu membangun cerita yang kuat, runtut, dan emosional.

Artikel bagian pertama ini akan membahas definisifungsi, dan pola dramaturgis dari janturan, pocapan, dan jejer. Bagian kedua akan menyajikan contoh janturan jejerterjemahanmaknacontoh dialog, hingga contoh pocapan berikut penjelasan filosofisnya. Keduanya membentuk satu kesatuan artikel yang menyeluruh.


Janturan: Lukisan Verbal dalam Pakeliran

Janturan adalah narasi deskriptif yang digunakan dalang untuk menggambarkan suasana, keadaan, tempat, dan latar emosi dalam sebuah adegan. Bahasa yang dipakai bukan bahasa biasa, tetapi bahasa yang dipenuhi candra: metafora, perumpamaan, simbol, dan lukisan-lukisan alam yang puitis. Bila wayang adalah seni bayangan, maka janturan adalah seni “bayangan kata”.

Dalam janturan, dalang tidak sekadar memberi informasi. Ia melukis. Ia membangun rasa. Ia menghidupkan tempat, menghadirkan tokoh, dan menata atmosfer. Berikut elemen yang selalu terdapat dalam janturan:

• Gambaran tempat

Biasanya berupa kerajaan, alas (hutan), pertapaan, padang, lembah, atau sebuah daerah tertentu. Dalang menyebutkan ciri khasnya, suasananya, bahkan bunyi-bunyian halusnya.

• Rasa adegan

Tenteram, angker, sedih, riang, tegang, atau misterius.
Pathet gamelan mengikuti “rasa” ini.

• Tokoh-tokoh yang hadir

Baik raja, pertapa, prajurit, punakawan, atau rakyat.
Janturan memperjelas posisi mereka sebelum dialog dimulai.

• Kondisi batin

Janturan memberi isyarat keadaan emosional: bimbang, prihatin, bersedih, marah, atau bahagia.

• Penghubung dari cerita sebelumnya

Inilah yang sangat penting: janturan menjadi jembatan antara adegan sebelum dan sesudahnya. Karena pakeliran adalah aliran cerita yang panjang, janturan memastikan penonton tidak kehilangan arah.

Mengapa janturan penting?

Karena janturan adalah tempat di mana:

  • Dalang mengatur suasana panggung.

  • Gamelan menerima isyarat pathet.

  • Penonton dibawa masuk ke dunia lakon.

  • Cerita diberi arah sejak awal.

Tanpa janturan, adegan akan kehilangan “napas pembuka”-nya.


Pocapan: Narasi Singkat, Tegas, dan Dramatis

Jika janturan adalah lukisan panjang, maka pocapan adalah kilatan cahaya.
Pocapan digunakan untuk adegan cepat atau momen mendadak dalam lakon.

Pocapan bersifat:

  • Pendek

  • Tegas

  • Langsung ke inti peristiwa

  • Tanpa banyak candra

  • Bernada lugas

Pocapan biasanya dipakai ketika:

  • Wahyu turun tiba-tiba

  • Tokoh mengalami kejadian sakral atau supranatural

  • Peralihan adegan sangat cepat

  • Ada tragedi atau situasi genting

  • Aksi dramatik terjadi dalam waktu singkat

Pocapan menjaga ritme cerita tetap dinamis. Tanpa pocapan, adegan cepat akan terasa lambat dan kehilangan kekuatan dramatiknya.


Jejer dalam Gaya Surakarta: Titik Awal Munculnya Konflik

Dalam pakeliran gaya Surakarta, jejer adalah adegan pembuka dari sebuah lakon. Di sinilah cerita dimulai, tetapi belum sampai pada konflik besar. Jejer mengantarkan penonton pada:

  • suasana kerajaan,

  • tokoh-tokoh penting,

  • keadaan negara,

  • persoalan awal,

  • serta tanda konflik yang akan berkembang.

Ciri-ciri jejer Surakarta:

  1. Setting di keraton (hampir selalu).

  2. Iringan Gendhing gedhe

  3. Dibuka dengan janturan agung.

  4. Diikuti suluk pathet nem ageng.

  5. Lalu masuk dialog antar tokoh utama.

  6. Masalah pertama muncul, tapi belum memuncak.

  7. Menjadi dasar alur menuju pathet sanga dan manyura.

Jejer Pindho (Cendhakan)

Sebelum memasuki pathet sanga, ada adegan perantara bernama jejer pindho. Ini bukan sekadar pengulangan, tapi:

  • jembatan menuju konflik,

  • pengantar tokoh antagonis atau pertapa,

  • pemanas tensi lakon.

Jejer pindho adalah salah satu ciri kuat gaya Surakarta.


Perbandingan dengan Gaya Yogyakarta

Dalam gaya Yogyakarta, jejer tidak harus berada di pathet nem.
Ia bisa muncul di:

  • pathet nem

  • pathet sanga

  • bahkan pathet manyura

Dengan demikian, gaya Yogyakarta lebih fleksibel dalam dramaturgi. Gaya Surakarta lebih ajeg dan terstruktur, sedangkan gaya Yogyakarta memberi ruang permainan yang lebih bebas.


Contoh Janturan, Pocapan, Dialog Jejer, Terjemahan & Makna Dramaturgis

Pada bagian kedua, kita akan menyajikan contoh lengkap janturan, dialog jejer, dan pocapan beserta terjemahan dan pemaknaan. Bagian ini sangat penting, terutama untuk dalang muda, peneliti budaya, atau siapa pun yang sedang mempelajari dramaturgi wayang.


CONTOH JANTURAN JEJER + TERJEMAHAN + MAKNA

Di bawah ini adalah teks asli janturan gaya Surakarta (seperti yang Anda berikan), kemudian terjemahan, dan makna dramaturgisnya.


TEKS JANTURAN JEJER (ASLI)

Binarung panglingga murda mring Hyang Murbeng Jati, pujane kang murweng kawi dumunung ing kalenglengan, langkung kumedah anurat medhar warana winadi, wadi jantraning ngaurip rinipta ing rumpaka, dadya sarana panimbang mawas laku lelakon sayekti.
 Murwani narbuka kandha, nenggih pundi ta ingkang Kaeka Adi dasa purwa, eka sawiji adi linuwih, dasa sepuluh, purwa marang wiwitan. Nadyan kathah titahing suksmana kang pinayungan ing akasa, kinupeng ing samudra, miwah sinangga ing pratiwi. Kathah ingkang anggana raras, parandene datan kadya ingkang ginupit ing dalu mangke anenggih gumelaring Negari Wiratha.
 Ngupaya negari satus tan antuk kalih, sewu tan jangkep sedasa, karana wus kasusra Praja Wiratha wau negari kang ageng tur ta inggih agung dhasare ayem tur ta ayom. Winastan negari ingkang ageng, labet jembar tebane, gedhe wulu pametune, wasis-wasis kawulane, tur ta lumintu panguripane.
 Dhasar Negari Wiratha dumadi saking dharatan lan samodra, pramila sugih supitan, sungapan kang sarta bandaran. Dagang layar rinten dalu anglur selur tan ana pedhote, labet tebih saking sangsayaning marga. Among tani antul mungkul myang talaten nggenya ngolah pasiten, temahan bumi cengkar dadya subur, lemah grasak dadi mawur. Raja kaya pitik iwen ginelar aglar ing pangonan tanpa cinancangan, ing wanci surup surya padha mulih marang kandange dhewe-dhewe. Meh saben dalu ing desa ngadesa anggung gumarenggeng sabawane sarasehan, Bapa-babu among tani samya liru kawruh ijol panemu bab tata rakiting tetanen, temahan kang bodho dadya pinter, kang butuh antuk wuwuh, kang kuthung banjur sinambung, tutur tinular nalar cinatur, mahanani lestari nggennya makarti, widada nggennya makarya. Dumugining mangsakala dadya tikel-matikel wulu wetuning bumi Wiratha.
 Sinebat nagari agung, labet jero tancebe, jejeg adege, gedhe obore, kang sarta dhuwur kukuse. Winastan jero tancebe; katitik bangsa Wiratha wus sahiyeg rumaos hadarbeni negarane, tur ta saguh hangrungkebi bumi kalahirane. Gusti lan kawula samya mapan ing lungguhe dhewe-dhewe. Wewenang datan tumanja sawenang-wenang, dene kuwajiban lumampah ajeg nora milih papan lan wanci. Manungaling kawula lan Gusti ibarat curiga manjing warangka, loro-loroning atunggal kaya godhong suruh lumah lan kurebe, dinulu seje wernane ginigit tunggal rasane, yeku jatidhirining Praja Wiratha. Marma winastan jejeg adege; katitik saking gesanging bangsa Wirata sahari-ratri anggung tinuntun dening paugeran myang tata cara kang tinamtu. Nalendra nayaka lan kawula sami netepi jejeging ukum lan ganjar, ingkang sadaya wus tinata dening paugeran dhasar kang minangka baboning adil lan bebener. Gedhe obore dhuwur kukuse; lire kang mangkono labet aruming bangsa lan nagari wus kasusra dumugi liyan praja manca nagari. Anggung anggegulang karukunan, suka sambet memitran nanging tetep nindakaken adil lan mardika, lire datan nyahak wewenanging sesami.

TERJEMAHAN JANTURAN

Terjemahan ini dibuat indahhalus, dan tetap setia makna.

“Bersinar kemegahan tempat suci memuja Hyang Murbeng Jati, tempat kemuliaan para bijaksana yang bersemayam dalam keheningan. Tampak nyata pancaran cahaya yang menyingkap rahasia hidup, tersurat dalam irama semesta, menjadi sarana untuk menimbang dan memahami perjalanan lakon yang sejati.

Kini terbukalah kisah: di manakah letak negeri yang disebut Adi Dasa Purwa — negeri utama, tunggal yang agung, puluhan tempat menjadi asal segala permulaan? Meski banyak makhluk halus berjaga di langit, dikelilingi samudra, dan ditopang bumi, namun tiada yang semegah negeri yang tengah mengembang malam ini: Negeri Wiratha.

Negeri yang mencari seratus tak memperoleh dua, seribu tak genap sepuluh — adalah perumpamaan betapa luas dan makmurnya negeri Wiratha, berdiri kokoh, tenteram, dan menenteramkan. Disebut negeri besar, tanahnya luas, hasil buminya melimpah, rakyatnya cerdas, dan kehidupannya terus berlanjut tanpa kekurangan.

Dasar negeri Wiratha terbentuk dari daratan dan lautan, sebab itu ia kaya pelabuhan, muara, dan bandar. Kapal-kapal berlayar siang dan malam tanpa jeda, jauh dari kesulitan perjalanan. Para petani tekun mengolah tanah, sehingga bumi kering menjadi subur, tanah kasar menjadi makmur. Ternak bagaikan ayam dilepas bebas di padang, sore hari pulang ke kandang masing-masing. Hampir setiap malam, desa-desa bergema dengan obrolan dan sarasehan; para petani bertukar ilmu serta pendapat tentang strategi bercocok tanam. Akhirnya, yang bodoh menjadi pandai, yang kekurangan memperoleh tambahan, dan yang terputus menjadi tersambung. Ilmu diwariskan, nalar disampaikan, sehingga lahirlah ketekunan untuk berkarya dan ketabahan untuk berusaha. Maka dari masa ke masa, hasil bumi Wiratha terus berlipat ganda.

Disebut negeri besar karena kokoh berdiri, teguh pijakannya, besar sinarnya, dan tinggi kewibawaannya. Disebut kokoh pijakannya, sebab rakyat Wiratha telah bersatu memiliki negerinya, dan siap membela tanah kelahiran. Raja dan rakyat berada pada kedudukannya masing-masing; kekuasaan tidak digunakan sewenang-wenang, kewajiban dijalankan tanpa memandang tempat dan waktu. Kesatuan raja dan rakyat ibarat keris masuk ke sarungnya: tampak berbeda wujud namun satu rasa — inilah jati diri Negeri Wiratha.

Disebut tegap berdirinya karena rakyat Wiratha dibimbing oleh aturan dan tata cara yang pasti. Raja dan rakyat menjalankan hukum dan balasan sebagaimana tertata oleh dasar keadilan dan kebenaran. Disebut besar sinarnya dan tinggi kewibawaannya karena harum nama bangsa dan negeri Wiratha telah terdengar sampai negeri-negeri jauh. Mereka menjunjung kerukunan, rajin bersahabat, menjalin pertemanan, namun tetap menegakkan keadilan dan kemerdekaan tanpa melanggar hak sesama.”


MAKNA JANTURAN

Janturan tersebut menggambarkan:

  • Keagungan dan kemakmuran negeri Wiratha

  • Rakyat yang hidup rukun, tanah yang subur, dan kepemimpinan yang adil

  • Simbol harmoni antara raja dan rakyat (curiga manjing warangka)

  • Negeri sebagai “ruang aman” sebelum badai konflik datang

Secara dramaturgis, janturan agung semacam ini berfungsi untuk:

  1. Menyiapkan rasa panggung

  2. Memberi level kemegahan

  3. Menjadi penanda bahwa lakon dimulai dari keadaan stabil

  4. Mengantar penonton untuk merasakan guncangan saat konflik muncul

Inilah fungsi janturan yang paling mendalam: memberi “landasan rasa”.


DIALOG JEJER + TERJEMAHAN + MAKNA DRAMATURGI

Di bawah ini adalah dialog antara Prabu Duryudana, Patih Sengkuni, dan Begawan Durna beserta terjemahan dan analisisnya.

DIALOG JEJER 

Prabu Duryudana (medeni, swarane abot) 

Mangke ta bapa durna, Kula Bibar nampi pangimpen, ingkang boten lumrah. Ing wanci puspotajem, Katingal Ana cahyo cumlorot saking langit tibo ana gunung. Lajeng wonten sasmita Swara ana kang muni: "Wahyu purbo kayun bakal tumurun ana ing gunung sindoro. Wahyu menika bakal dadi kekuatane tumrap negara ngestina napa mboten?. Bebayani tumrap negara ngastina napa mboten? 


 Patih Sengkuni 

Dhuh sinuwun anak Prabu duryudana, yekti jaman sampun owah. Wahyu napa mawon ingkang badhe tumurun, mesthi dados rebutan. Nanging, sinuwun mangga paduka dalah kadang sata kurawa, prayoginipun enggal enggal tumindak gliak gliak. Pendhawa menika ageng tirakat saha tapa bratanipun. Menawi pendhawa ngrumiyini manggihi wahyu kala wau, tamtmu samangke bakal jongkeng palenggahan paduka anak prabu, mboten prayogi sinuwun. 


 Begawan Durna (lerem nanging nesu batin) 

Nuwun sewu, anak Prabu... blak kotang terus terang. Satemenipun bapa inggih nyumpena, ingkang werdinipun kula kinten sami kalian paduka sinuwun. Kawula ningali Wahyu tumurun kaya lintang murub, lumebu ing pucaking gunung sindoro. 


Prabu Duryudana

Kula kepingin mangertos, punapa satemenipun makna lan tegesipun wahyu punika? 


Pendita Durna 

Sinuwun, wahyu Purbo Kayun punika sanadyan kasemak minangka cahyaning langit, sejatinipun pralambang kasucèn budi, kasucen rasa, lan katulusan kayun. Sapa kang saged ngemot ing sajroning jiwane, bakal dados satriya unggul, pinayungan dening karsa suci Sang Hyang Jagadnata. 


Prabu Duryudana

 Hmmm, menawi mekaten, napa wahyu punika kedah tumiba marang titah. Amargi kula ratu Astina, panguwasa ing jagad iki, kados pundi panggalih panjenengan, Eyang Durna? 


Pendita Durna

 Inggih, Prabu. Menawi miturut tatanan kawruh lan paugeran jagad, mesthi prayogi menawi wahyu punika kasandhang paduka minangka ratu agung Astina. Nanging, satunggaling wahyu boten saged kasandhing namung kanthi kekuwatan lan kalenggahan, nanging kanthi kasucèn batin lan tulus kayun. Pramila, menawi Paduka ngersakaken, kedah wonten laku tirakat, prihatin, lan pasrah murni dhateng karsa Hyang Widhi. 


Prabu Duryudana: (Kerungu alon, gumregah) 

Eyang Durna, kula punika nata jagad, gadhah bala Kurawa sanget kiyat, nguwasani donya. Yagene kula taksih kedah tirakat kados brahmana, nggugah rasa suci? Satemenipun, punapa boten saged Panjenengan reko doyo, supados wahyu punika dipun tekakake dhumateng kula kanthi lelampahan kawruh panjenengan?


Terjemahan dialog

Duryudana

Terjemahan:
“Begawan Durna, hamba mendapat mimpi aneh. Di tengah malam terlihat cahaya besar jatuh dari langit ke puncak Gunung Sindoro. Terdengar suara: ‘Wahyu Purbo Kayun akan turun.’
Apakah wahyu itu menjadi kekuatan bagi Ngastina atau justru membawa bahaya?”

Makna dramaturgi:
– Duryudana gelisah dan merasa terancam.
– Setting masalah utama dimulai: perebutan wahyu.
– Dialog langsung menciptakan tensi setelah janturan yang tenteram.


Patih Sengkuni

Terjemahan:
“Paduka Prabu, zaman sudah berubah. Wahyu apa pun yang turun pasti bakal diperebutkan.
Pendhawa itu kuat tirakatnya dan tekun bertapa.
Jika mereka mendapatkannya duluan, tak diragukan lagi kedudukan paduka akan terancam. Ini tidak baik bagi Prabu.”

Makna:
– Sengkuni memancing rasa takut Duryudana.
– Mempertebal motif konflik: pendhawa vs kurawa.


Begawan Durna

(tenang namun menyimpan amarah batin)

Terjemahan:
“Maaf Paduka... terus terang. Hamba pun melihat wahyu itu, cahaya benderang jatuh di puncak Gunung Sindoro.”

Makna:
– Durna menguatkan kebenaran firasat Duryudana.
– Menambah bobot spiritual dari wahyu tersebut.


Prabu Duryudana → Pendita Durna

Duryudana:
“Hamba ingin mengetahui makna dari wahyu itu.”

Durna (penjelasan wahyu):
“Wahyu Purbo Kayun itu meski tampak sebagai cahaya langit, sesungguhnya perlambang kesucian budi, kejernihan rasa, dan ketulusan kehendak.
Siapa pun yang mampu menampungnya dalam jiwanya akan menjadi ksatria unggul yang dilindungi kehendak suci Sang Hyang Jagadnata.”

Makna:
– Wahyu bukan sekadar kekuatan politik → tetapi kualitas batin.

– Pesan moral muncul: kebenaran dan ketulusan adalah syarat wahyu.


Duryudana (gugup dan ambisius)

Terjemahan:
“Kalau begitu, wahyu itu harusnya jatuh kepada seorang raja! Hamba adalah raja besar Astina. Meski begitu, haruskah hamba tetap tirakat seperti brahmana?”


Pendita Durna (menegur halus)

Terjemahan:
“Benar, Prabu. Tetapi wahyu tidak bisa diraih hanya dengan kekuasaan atau kedudukan. Untuk mendapatkannya, harus ada tirakat, tekad suci, dan ketulusan hati.”

Makna dramaturgi:
– Kontras watak: ambisi Duryudana vs etika Durna.

– Konflik batin raja terlihat: mau wahyu tapi tak mau laku.

 Ini mengantar cerita menuju konflik pathet lebih tinggi.


CONTOH POCAPAN + TERJEMAHAN + MAKNA

Teks Pocapan (Asli)

“Wauto, Para Kawula kanthi bergas lan bungah hanoto pesta Ondrowino kanggo Prabu Boko. Kanthi bunga lan bombong. Nanging weweling para leluhur, saya dhuwur wit uga saya gedhe angin kang hanempuh. Para kawula tan uninga bebaya kang bakal tumama saka Prabu Boko Nalendra Medang Kamulan.”

Terjemahan

“Pada saat itu, para rakyat dengan sigap dan gembira menyiapkan pesta Ondrowino untuk Prabu Boko. Dengan penuh suka cita mereka menghias dan merayakan.
Namun, seperti pesan para leluhur: semakin tinggi pohon, semakin besar pula angin yang menerpa.
Rakyat tidak mengetahui bahaya besar yang sedang mengintai dari Prabu Boko, Raja Medang Kamulan.”

Makna

Pocapan ini:

  • Menandai pesta besar

  • Menggambarkan kegembiraan rakyat

  • Memberi peringatan akan bahaya

  • Mengarahkan cerita menuju tragedi Prabu Boko

Pocapan adalah teknik cepat untuk membangun ketegangan.


Penutup Artikel 

Dua bagian artikel ini membentuk satu pemahaman: bahwa janturan, pocapan, dan jejer adalah kerangka utama dramaturgi pakeliran. Janturan memberi “ruang batin”, pocapan memecah peristiwa cepat, dan jejer menjadi gerbang pertama dari seluruh perjalanan lakon. Dengan memahami ketiganya, seorang dalang tidak hanya menggambar cerita, tetapi juga menggambar rasaruang, dan nasib tokoh-tokohnya.