Tembang Macapat Asmarandana: "Andum Tresna" — Makna, Terjemahan, dan Filosofi Cinta Jawa
Tembang Macapat Asmarandana: “Andum Tresna”
Karya: Mas Jangkung Sugiyanto — tembang macapat modern yang merefleksikan filosofi cinta Jawa dalam bentuk sastra klasik bernuansa etis dan humanis.
Pendahuluan: Cinta Sebagai Jalan Etika
Asmarandana (dari kata asmara — cinta) adalah bentuk tembang macapat yang berisi ungkapan rasa kasih, harapan, dan kesetiaan. Dalam versi karya Mas Jangkung Sugiyanto berjudul “Andum Tresna”, cinta tidak dipahami sebagai nafsu, melainkan sebagai praktik welas asih — tindakan memberi, menumbuhkan, dan menyinari kehidupan orang lain.
“Andum Tresna” menempatkan cinta sebagai fondasi moral, sosial, dan spiritual. Ia menjadi perwujudan filosofi Jawa: urip iku urup — hidup itu menyala karena memberi.
Teks Asli Tembang Macapat Asmarandana “Andum Tresna”
Rasa kapang wanci ratri
Marang sira iku nyata
Kagawang mring esemane
Uga kagawang ing netra
Kapan gya gandeng asta
Lungguh nyanding mring sliramu
Aku kowe andum tresna
Terjemahan Bahasa Indonesia
Kepadamu terasa begitu nyata.
Terlukis dalam senyummu,
Juga tampak dalam sorot matamu.
Kapan tangan ini bisa tergandeng,
Duduk berdua di sisimu,
Aku dan engkau saling berbagi cinta.
Makna Baris demi Baris
1. “Rasa kapang wanci ratri”
Malam menjadi simbol keheningan batin. Dalam filosofi Jawa, ratri adalah waktu introspeksi. Rasa yang hadir saat malam melambangkan perasaan yang jujur, tidak terselubung oleh kesibukan dunia.
2. “Marang sira iku nyata”
Perasaan cinta digambarkan nyata — bukan ilusi. Ini menegaskan kesungguhan batin, cinta sebagai pengalaman eksistensial, bukan sekadar emosi sementara.
3. “Kagawang mring esemane”
Senyum menjadi bahasa universal cinta. Dalam budaya Jawa, esem melambangkan kebajikan yang lembut, bukan rayuan. Ia menggambarkan etika dan kelembutan rasa.
4. “Uga kagawang ing netra”
Mata adalah jendela jiwa. Tatapan penuh kasih menandakan pengakuan, kesetiaan, dan kejujuran yang tidak butuh kata.
5. “Kapan gya gandeng asta”
“Gandeng asta” (berpegangan tangan) menjadi simbol kesatuan lahir-batin. Dalam etika Jawa, tindakan ini menandakan ikatan yang penuh tanggung jawab, bukan nafsu sesaat.
6. “Lungguh nyanding mring sliramu”
“Nyanding” berarti sejajar — dua jiwa yang duduk berdampingan dalam keharmonisan. Ini cermin prinsip rukun lan guyub dalam hubungan sosial.
7. “Aku kowe andum tresna”
“Andum” berarti berbagi. Bait ini menegaskan makna cinta sebagai energi sosial. Cinta sejati bukan soal memiliki, tetapi memberi dan menumbuhkan kehidupan.
Filosofi Cinta Jawa dalam “Andum Tresna”
- Ketulusan: memberi tanpa pamrih, menebar kasih tanpa menuntut.
- Kesabaran: cinta menunggu dengan sadar, bukan tergesa dalam ego.
- Harmoni: keseimbangan antara diri, sesama, dan alam.
- Welas Asih: cinta sebagai bentuk bakti dan penghargaan terhadap kehidupan.
- Memayu Hayuning Bawana: cinta bukan hanya hubungan dua insan, tapi upaya memperindah dunia.
Simbolisme Bahasa Tembang
- Malam: refleksi batin dan kejujuran perasaan.
- Senyum: kehangatan, penerimaan, dan tanda kasih tulus.
- Mata: komunikasi spiritual antarjiwa.
- Tangan tergandeng: kesatuan tanggung jawab dan kasih.
- Andum: berbagi kasih sebagai inti kehidupan sosial Jawa.
Relevansi Zaman Modern
Tembang “Andum Tresna” mengajarkan prinsip universal: cinta yang memberi, bukan menuntut. Dalam konteks modern, nilai ini penting bagi hubungan manusia yang sering terjebak ego dan kompetisi. Filosofi andum dapat diterapkan dalam keluarga, komunitas, bahkan hubungan profesional — menumbuhkan empati dan kebersamaan.
Selain itu, tembang ini dapat menjadi inspirasi bagi pendidikan karakter, terapi psikologis berbasis budaya, serta karya seni kontemporer yang menggali nilai-nilai lokal untuk global humanity.
Kesimpulan
“Andum Tresna” adalah puisi cinta yang sarat kebijaksanaan. Ia menampilkan cinta sebagai perjalanan moral dan spiritual — memberi, menunggu, dan menyinari. Melalui liriknya, Mas Jangkung Sugiyanto menghadirkan kembali esensi cinta Jawa: tresna kang nyawiji, urip kang migunani — kasih yang menyatu dan hidup yang berguna.
Semoga tembang ini menjadi pengingat bahwa cinta sejati adalah cahaya yang dibagi, bukan api yang membakar. Urip iku urup — hidup itu menyala karena cinta yang dibagikan.
Baca juga Karya-Karya Ki Jangkung Sugiyanto:
Manembah Tembang Maskumambang: Falsafah Lahirnya Rasa Sejati
Filosofi Tembang Dhandhanggula dalam Ajaran Hidup Jawa Lengkap Dengan Contoh Karya Ki Jangkung Sugiyanto
