Filosofi Tembang Dhandhanggula dalam Ajaran Hidup Jawa Lengkap Dengan Contoh Karya Ki Jangkung Sugiyanto
Filosofi Tembang Dhandhanggula dalam Ajaran Hidup Jawa
Daftar Isi
Pengantar: Dhandhanggula sebagai Cermin Rasa Jawa
Tembang Dhandhanggula adalah mahakarya sastra Jawa yang memancarkan kehalusan rasa dan kebijaksanaan hidup. Setiap baitnya menjadi cermin nilai eling, waspada, dan harmoni antara manusia dengan sesama serta alam. Melalui tembang ini, masyarakat Jawa mengekspresikan gagasan moral dan keindahan batin dengan tutur lembut yang penuh makna.
Dhandhanggula mengajarkan bahwa hidup yang seimbang tidak hanya diukur dari harta dan jabatan, tetapi dari keselarasan antara cipta (pikiran), rasa (perasaan), dan karsa (kehendak). Nilai-nilai tersebut menjadi dasar pandangan hidup Jawa dalam mencapai ketenteraman dan keindahan sejati.
Asal-Usul dan Makna Kata “Dhandhanggula”
Kata Dhandhanggula berasal dari gabungan dua kata: dhandhang (bayangan atau kesadaran batin) dan gula (manis). Secara simbolik, ia menggambarkan perjalanan manusia menuju kehidupan yang manis dan tenteram setelah melalui ujian batin dan laku kesabaran. Keindahan dalam Dhandhanggula bukan hanya estetika bahasa, tetapi juga cermin kebeningan jiwa dan kebijaksanaan hidup.
Tembang ini kerap digunakan untuk menggambarkan kebahagiaan, ketenangan, dan keseimbangan rasa. Namun, kemanisannya tidak datang tanpa makna: ada kesadaran bahwa kebahagiaan sejati hanya lahir dari keikhlasan dan ketulusan laku hidup.
Struktur dan Kaidah Tembang Dhandhanggula
Setiap tembang macapat memiliki aturan tersendiri yang disebut guru gatra (jumlah baris), guru wilangan (jumlah suku kata), dan guru lagu (vokal akhir). Dhandhanggula mengikuti pola berikut:
- Jumlah gatra: 10 baris
- Guru wilangan: 10, 10, 8, 7, 9, 7, 6, 8, 12, 7
- Guru lagu: i, a, e, u, i, a, u, a, i, a
Susunan ini mencerminkan keseimbangan antara bentuk dan isi, di mana keteraturan menjadi wujud estetika dan kedisiplinan rasa dalam budaya Jawa.
Filosofi Hidup dalam Dhandhanggula
Dhandhanggula mengandung pesan moral, sosial, dan spiritual yang mendalam. Nilai-nilainya menjadi panduan dalam menjalani kehidupan penuh kebijaksanaan:
- Rasa Syukur: Mengajarkan kesadaran untuk menerima kehidupan dengan lapang dada dan berterima kasih atas setiap anugerah.
- Keselarasan: Hidup yang indah adalah yang seimbang antara lahir dan batin, dunia dan nurani.
- Tata Krama: Lembut dalam tutur, santun dalam sikap, dan bijak dalam tindakan.
- Cinta Kasih Universal: “Gula” dalam Dhandhanggula melambangkan kasih sayang yang menyatukan sesama tanpa pamrih.
- Kebijaksanaan Hidup: Hidup manis bukan karena harta, tetapi karena kejernihan hati dan ketenangan jiwa.
Contoh Tembang Dhandhanggula dan Maknanya
Dhandhanggula: “SEMBADA” — Karya Ki Jangkung Sugiyanto
Aja lali manembah mring gusti,
Awit urip iki kudu setya,
Lan sabar dadi lakune,
Mula prayitna kaki,
Welingku hywa aja sembrana,
Tetep suci ing laku,
Aja tindak saru,
Aja kowe laku cidra,
Ngelmu kelakone kanthi laku yekti,
Jujur manggih sembada.
Tembang tersebut mengandung pesan luhur tentang pentingnya kesungguhan dan kejujuran dalam menempuh ilmu serta kehidupan. “Ngelmu kelakone kanthi laku yekti” menegaskan bahwa pengetahuan sejati hanya dicapai melalui tindakan nyata dan kesucian niat. Dalam budaya Jawa, keilmuan dan moral tidak dapat dipisahkan; keduanya berjalan beriringan menuju sembada — kesempurnaan batin.
Relevansi Dhandhanggula di Zaman Modern
Di era digital yang serba cepat, nilai-nilai dalam Dhandhanggula justru semakin relevan. Tembang ini mengajarkan keseimbangan antara kemajuan teknologi dan ketenangan jiwa. Banyak pendidik dan budayawan menggunakan Dhandhanggula sebagai media pembelajaran karakter karena mengandung nilai empati, tanggung jawab, dan rasa hormat.
Melalui musik, sastra, dan media digital, generasi muda dapat menghidupkan kembali nilai-nilai ini. Dengan menggabungkan kreativitas modern dan kearifan lokal, Dhandhanggula bisa menjadi sumber inspirasi baru yang mendamaikan antara logika dan rasa.
Penutup: Roso, Tata, lan Tentrem
Dhandhanggula adalah tembang keseimbangan — antara rasa, tata, lan tentrem. Ia mengajarkan bahwa hidup sejati adalah ketika manusia mampu menjaga tutur, perilaku, dan pikiran agar tetap manis seperti gula, lembut seperti bayang-bayang, dan tenang seperti embun pagi. Di situlah keindahan sejati budaya Jawa hidup dan terus berdenyut di setiap zaman.
“Urip iku mung sawang-sinawang, nanging tembang Dhandhanggula ngajari supaya sawangan iku dadi kasunyatan sing manis.”
Ditulis oleh Jangkung Sugiyanto
www.jangkunglaras.id — Blog Seni dan Budaya Nusantara
Baca juga:
Manembah Tembang Maskumambang: Falsafah Lahirnya Rasa Sejati
Makna Tembang Dhandhanggula: Urip Iku Ayu Yen Ana Roso
Kreativitas Desain Digital Motif Batik: Antara Tradisi dan Inovasi Visual