Manembah — Tembang Maskumambang | Falsafah Hidup Jawa oleh Jangkung Sugiyanto

Manembah — Tembang Maskumambang | Falsafah Hidup Jawa oleh Jangkung Sugiyanto

Table of Contents
Manembah — Tembang Maskumambang | Falsafah Hidup Jawa oleh Jangkung Sugiyanto

Manembah — Tembang Maskumambang

Penggubah: Mas Jangkung Sugiyanto | Gagrag Macapat Jawa

1. Teks Asli Tembang “Manembah”

Yen manungsa lali manembah sayekti Mangke bakal gela Hywa pada manembah kaki Mugi padha rahayua

Tembang iki digubah dening Jangkung Sugiyanto minangka refleksi batin lan pitutur luhur. Bentuk Maskumambang digunakake amarga wataké lembut lan meditatif, ngandhut rasa pasrah, eling, lan kabecikan.

Ilustrasi Maskumambang Manembah oleh Jangkung Sugiyanto — simbol wayang, ombak, dan teratai.

2. Terjemahan dan Tafsir Budaya

  1. Jika manusia lupa manembah sayekti (menyembah dengan kesadaran sejati),
  2. Maka ia akan kehilangan arah hidup,
  3. Dan anak cucunya pun akan kehilangan tuntunan,
  4. Semoga semuanya memperoleh rahayu dan ketenteraman batin.

Kata kaki di sini bermakna simbolik — bukan bagian tubuh, melainkan lambang generasi penerus. Pesannya jelas: tanggung jawab spiritual dan moral harus diwariskan agar anak cucu tetap memiliki arah dan kebijaksanaan hidup.

3. Makna Filosofis Tembang Maskumambang

Maskumambang menggambarkan suasana jiwa yang lembut dan mengambang; melambangkan perjalanan batin sebelum manusia lahir ke dunia. Dalam karya ini, Manembah tidak sekadar sembah lahiriah, tetapi kesadaran diri terhadap asal dan tujuan hidup. Eling (ingat) dan pangabekti (penghormatan) menjadi inti pesan budaya Jawa yang universal.

Baris “Mangke bakal gela” memperingatkan manusia agar tidak terjebak dalam kekosongan batin di tengah kemajuan duniawi. Sementara “Mugi padha rahayua” menjadi doa keseimbangan — harapan agar manusia, alam, dan generasi saling harmoni.

4. Manembah dalam Falsafah Hidup Jawa

Dalam budaya Jawa, manembah berarti menyatukan pikiran, rasa, dan perbuatan dengan nilai kebajikan. Ia tidak selalu berbentuk ritual, melainkan kesadaran untuk hidup selaras dengan alam, menghargai sesama, dan menjaga keseimbangan batin.

Ajaran luhur ini dirangkum dalam pepatah “Eling lan waspada” — sadar dan mawas diri. Ketika manusia lupa pada hakikatnya, ia kehilangan sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan hidup). Itulah sebabnya tembang ini disebut sebagai wewaler budaya: pengingat lembut agar manusia tidak kehilangan arah.

5. Struktur dan Watak Tembang Maskumambang

Guru wilangan dan guru lagu Maskumambang yaiku 12, 6, 8, 8 kanthi pola i – a – i – a. Bunyi “i” lan “a” menciptakan kesan lirih dan jernih, seolah ombak halus yang membawa renungan. Watak tembang iki cocok kanggo tema kelahiran, kontemplasi, lan perjalanan batin.

6. Relevansi untuk Zaman Modern

Di era digital, manusia kerap sibuk hingga lupa menata jiwanya. Tembang ini hadir sebagai pengingat budaya: kemajuan sejati bukan hanya soal teknologi, tetapi juga kesadaran moral. Pesan “Yen manungsa lali manembah sayekti” menjadi sindiran lembut bahwa kesejahteraan tanpa kebijaksanaan akan kehilangan arah.

Jika manusia mau eling dan menjaga hubungan baik dengan alam serta generasi penerusnya, maka rahayu — kedamaian batin dan sosial — akan menyertai kehidupan.

7. Nilai Moral dan Pendidikan Karakter

  • Kesadaran diri: Mengenali asal-usul dan tujuan hidup dengan bijaksana.
  • Tanggung jawab: Menjadi teladan bagi generasi penerus.
  • Keseimbangan: Menyatukan antara pikiran, rasa, dan tindakan.
  • Kearifan budaya: Menghayati nilai leluhur tanpa meninggalkan kemajuan zaman.

8. Harapan Penulis

Melalui tembang Manembah, Jangkung Sugiyanto mengajak generasi muda untuk kembali memahami kearifan lokal sebagai sumber inspirasi hidup. Budaya Jawa menyimpan nilai universal: cinta kasih, hormat pada leluhur, dan penghargaan terhadap alam semesta.

“Mugi padha rahayua” menjadi doa budaya yang inklusif — harapan agar seluruh umat manusia hidup damai, saling menghargai, dan membawa manfaat bagi dunia.

9. Kesimpulan

Tembang macapat Maskumambang “Manembah” merupakan karya yang memadukan estetika sastra dengan pesan etika. Ia menggugah kesadaran manusia untuk selalu eling, bersyukur, dan bertanggung jawab terhadap masa depan generasi. Dengan nilai-nilai inilah, budaya Jawa tetap hidup dan relevan di tengah perubahan global.

Baca juga:
Filosofi Tembang Dhandhanggula dalam Ajaran Hidup Jawa
Budaya sebagai Jalan Hidup: Menemukan Makna dan Ketentraman di Tengah Modernitas
Pentingnya Pelestarian Kesenian Nasional di Era Digital

Ditulis oleh Mas Jangkung Sugiyantowww.jangkunglaras.id

Artikel ini merupakan karya orisinal yang ditulis untuk pendidikan budaya dan pelestarian sastra Jawa. Dapat digunakan sebagai referensi, bahan ajar, atau inspirasi seni pertunjukan wayang dan karawitan.