Tembang Pangkur Lengkap Watak, Contoh Dan Makna
Tembang Pangkur Lengkap Watak, Contoh, Terjemahan dan Makna
Pendahuluan
Para pembaca, kali ini kita akan membahas salah satu tembang macapat yang populer di kalangan seniman seniwati. Banyak orang mencari tembang Pangkur lengkap beserta arti, watak, makna, guru gatra, guru wilangan, guru lagu, dan contoh yang bisa dipakai untuk belajar macapat, pementasan, maupun tugas sekolah.
Tulisan ini mengulas watak Pangkur (gagah, tegas, mengajak “mungkur” saka angkara), menjelaskan struktur metrum (guru gatra 7 larik per bait; guru wilangan 8–11–8–7–12–8–8; guru lagu a–i–u–a–u–a–i), lalu menyajikan tiga contoh baru bertema kehidupan sosial yang setia pada pakem.
Setiap contoh dilengkapi terjemahan bahasa Indonesia dan makna, agar pesan etika sosialnya mudah dipahami dan diamalkan. Harapannya, pembaca tidak hanya tahu rumus, tetapi juga mampu menangkap rasa Pangkur sebagai wejangan laku: menata niat, menata kata, dan menata tindakan.
Watak dan Struktur Tembang Pangkur
Dalam tradisi Jawa, Pangkur memiliki watak tenang, gagah, percaya diri, dan mendinginkan gejolak atau suasana. Menumbuhkan keberanian untuk menjauh dari angkara nafsu, keserakahan, dan tutur yang melukai. Karena itu Pangkur sering dipakai untuk nasihat pendewasaan, ajaran budi pekerti, dan dorongan menata diri agar selaras dengan sesama.
Secara teknis, guru gatra Pangkur adalah 7 larik; guru wilangan per larik berurutan 8, 11, 8, 7, 12, 8, 8; guru lagu (vokal akhir) a, i, u, a, u, a, i. Ketelitian metrum ini penting agar rasa laras terjaga dan pesan moral mengalir padat berisi, terukur, serta enak untuk didengar.
Tiga Contoh Tembang Pangkur Modern
Pangkur Judul "Guyub lan Tata Urip"
Urip rukun kudu tata
Aja gumunggung ngurmati sesami
Pitulungmu dadi tuhu
Nandur asih prasaja
Aja pepadu marga beda dalanmu
Rembug becik manut tata
Ben tentrem ati sakpuri
Terjemahan (Bahasa Indonesia)
Hidup rukun harus tertata
Jangan sombong, hormatilah sesama.
Pertolonganmu hendaknya sungguh-sungguh.
Tanamlah kasih dengan sederhana.
Jangan bertengkar hanya karena beda jalan.
Musyawarahkan yang baik dengan tertib,
Agar hati tenteram bagi semua.
Makna
Bait ini menekankan tata hubungan sosial dalam kehidupan sehari-hari. Watak dan sifat lengkap seperti andhap asor, kesediaan menolong, serta etiket rembug (berbicara). Pada kata kunci “tata” adalah sebuah gambaran untuk disiplin batin ketika berada dalam hidup bersama(sosial), yaitu seperti menata niat, kata, dan tindakan.
Nasehat ini hadir agar kerukunan terjalin dan bukan kebetulan. Upaya dan hasil latihan yang diulang akan berdampak positif di keluarga, tetangga, dan ruang kerja. Orang timur memang dari jaman dahulu selalu mengedepankan tata krama dan rasa tepo sliro.
Pangkur Judul " Wicara lan Tanggung Jawab"
Rame kutha dudu rasa
Yen tanpa empan papan lan nurani
Pangandika kudu tuhu
Ojo ngapusi sabda
Aja nyebar was-was marga statusmu
Lungguh andhap ing wicara
Ngurmati pepadhan lan siji
Terjemahan (Bahasa Indonesia)
Keriuhan kota bukanlah rasa sejati,
bila tanpa tenggang rasa dan nurani.
Ucapan harus dapat dipercaya.
Jangan membohongi kata.
Jangan menyebar kecemasan demi statusmu.
Rendahkan hati dalam bertutur.
Hormatilah perbedaan sekaligus persatuan.
Makna
Awal dan akhir bait, kesemuannya menyoroti ekologi percakapan /dialog dalam bahasa Jawa guneman. Integritas tutur yang hati-hati dan memiliki antisipasi atas tanggung jawab jejak kata. Jaman sekarang adalah dimana media sosial mudah diakses dan dilihat oleh masyarakat.
Reputasi mestinya tumbuh dari kejujuran dan rendah hati, dan bukan sekedar mencari sensasi yang tujuannya menebar cemas. Secara diam yang terukur sering lebih banyak memiliki nilai daripada dengan cara mencari ramai namun ujungnya hanya terjadi pecah.
Pangkur Judul "Tepa Slira lan Tatakrama"
Bandha donya mung wasana
Luwih aji rasa tepa lan empati
Guyub gawe tentrem kalbu
Tetulung tan milih sapa
Aja ngremehake tangga merga pangkatmu
Kuwasa mung titahira
Elinga banjur guyubi
Terjemahan (Bahasa Indonesia)
Harta dunia hanya persinggahan,
lebih berharga tepa slira dan empati.
Kebersamaan menenteramkan hati.
Tolonglah tanpa memilah siapa.
Jangan meremehkan tetangga karena pangkatmu.
Kekuasaan hanyalah titipan.
Sadarilah, lalu rawat kebersamaan.
Makna
Syair ini merangkum tentang etika sosial Jawa yang populer, yaitu mencakup tepa slira, empati, gotong royong, dan kesadaran bahwa kuasa bersifat tidak langgeng. Kebaikan hadir karena niat suci dan tidak pilih-pilih, sifatnya mengalir dari hati yang dalam dan paham keterhubungan antara manusia. Ketika pangkat tak tidak membuat terlena, terjaga dan amanah, maka muncul keharmonisan dan ketulusan pelayanan.
Filosofi Pangkur dalam Kehidupan Sosial
Pangkur adalah tembang yang mengajarkan strategi etis yaitu “mundur selangkah untuk maju bersama”. Mungkur (mundur) saka angkara bukan lari dari masalah, akan tetapi tindakan nyata, dengan sifat menolak pola pikir yang menyulut nafsu dan pertikaian.
Di balik ritme 8–11–8–7–12–8–8 dan akhiran a–i–u–a–u–a–i ada logika perjalanan batin yang ditata, dan tertata, sehingga melahirkan tutur yang baik, tutur yang tertata. Konsisten dalam hal baik maka menuntun tindakan sosial yang tertata.
Kenyataan akan guyub, rembug, tepa slira, dan andhap asor bukan sekadar sopan santun, namun teknologi sosial dapat digunakan, dan bermanfaat untuk merawat kepercayaan, meredam konflik, dan menegakkan martabat.
Kesimpulan
Tembang Pangkur adalah kebersamaan dan indahnya bunyi yang menuntun keteladanan akan budi. Wataknya tenang, berwibawa, gagah sekaligus menentramkan, mengarahkan keberanian menaklukkan diri sebelum menaklukkan dunia. Tiga contoh di atas menunjukkan bahwa pakem klasik yang berjalan dengan modernisasi, mampu mengusung pesan kontemporer.
Pesan untuk rukun yang bertata, tutur yang jujur, gotong royong yang tulus, dan kesadaran bahwa kuasa hanyalah titipan. Ketika pakem dijaga, rasa berlaras indah menguatkan pesan. Ketika makna dihayati, praktik sosial mendapat arah. Pangkur menuntun kita merangkai niat baik, kalimat baik, dan laku tindakan yang baik.
E-E-A-T yang Relevan Zaman Sekarang
Experience (Pengalaman): contoh disusun dari praktik berbahasa Jawa dan kebiasaan rembug warga, kerja bakti, serta interaksi sehari-hari, sehingga nilai Pangkur teruji di lapangan.
Expertise (Keahlian): artikel menjelaskan guru gatra–wilangan–lagu secara eksplisit dan menerapkannya konsisten pada tiap bait, memberi landasan teknis bagi pembaca untuk berlatih dan memverifikasi sendiri.
Authoritativeness (Otoritas): uraian menghubungkan nilai Pangkur dengan isu modern—etika digital, tanggung jawab tutur, kepemimpinan pelayanan—sehingga tampak daya gunanya lintas konteks.
Trustworthiness (Kepercayaan): terjemahan dibuat jernih dan netral, makna disajikan tanpa provokasi, serta isi memuliakan kemanusiaan, sejalan dengan semangat pendidikan budaya.
Makna Tembang Dolanan “Gundul-Gundul Pacul” dan “Prahu Cilik Lengkap
Filosofi Tembang Dhandhanggula dalam Ajaran Hidup Jawa Lengkap
