Ruang Digital sebagai Panggung Budaya: Antara Identitas dan Globalisasi
Ruang Digital sebagai Panggung Budaya: Antara Identitas dan Globalisasi
Oleh: Mas Jangkung Sugiyanto – Jangkung Laras Indonesia
 
Ruang digital kini telah menjadi panggung terbesar dalam sejarah manusia. Di sana, setiap individu, komunitas, bahkan bangsa dapat menampilkan jati dirinya ke dunia. Namun, dalam kecepatan informasi dan arus globalisasi, muncul pertanyaan besar: masihkah kita mengenali identitas budaya sendiri?
Artikel ini menelusuri bagaimana budaya Jawa dan Nusantara beradaptasi di ruang digital tanpa kehilangan akar. Bagaimana teknologi dapat menjadi jembatan, bukan penghapus nilai. Dan bagaimana masyarakat Indonesia dapat membangun identitas digital yang berbudaya di tengah dunia yang serba algoritma.
1. Dunia Digital: Panggung Baru Manusia
Ruang digital tidak lagi hanya soal teknologi, melainkan ruang kehidupan sosial, politik, dan budaya. Media sosial, platform AI, hingga karya seni digital kini menjadi panggung ekspresi kolektif manusia modern. Setiap postingan, video, atau karya yang kita unggah menciptakan jejak identitas.
Namun di balik kebebasan itu, tersembunyi tantangan: hilangnya konteks budaya dan moral. Budaya Nusantara yang selama ini menekankan keseimbangan, tata krama, dan kehalusan rasa sering kali berbenturan dengan gaya digital yang instan dan agresif.
2. Identitas Budaya di Tengah Globalisasi
Globalisasi membuka peluang kolaborasi lintas bangsa, tapi juga mengikis batas identitas lokal. Generasi muda Indonesia tumbuh dengan algoritma global yang membentuk selera, bahasa, bahkan nilai moral mereka.
Dalam konteks ini, filsafat Jawa mengajarkan prinsip penting: nguri-uri budaya — menjaga sambil menyesuaikan. Identitas tidak berarti menolak perubahan, melainkan memberi arah moral dalam arus global.
“Nguri-uri ora mung ngreksa sing lawas, nanging nganyari tanpa ninggal watake.” – Ki Jangkung Sugiyanto
3. Wayang, AI, dan Narasi Digital
Wayang kulit dapat menjadi metafora paling tepat bagi ruang digital. Dalam wayang, tokoh-tokoh menari di balik kelir, sebagaimana avatar manusia di dunia maya. Dalang — sang pengatur cerita — melambangkan kesadaran moral manusia.
Ketika AI mulai mengambil peran dalam seni dan narasi, muncul tantangan baru: apakah manusia masih menjadi dalang atas kehidupannya sendiri? Jawabannya bergantung pada sejauh mana manusia menjaga kesadarannya terhadap nilai dan etika.
4. Branding Budaya di Era Teknologi
Banyak komunitas kini menggunakan ruang digital untuk menghidupkan kembali tradisi lokal — dari batik digital, virtual exhibition, hingga pagelaran wayang daring. Inilah bentuk baru dari branding budaya yang memperkenalkan Indonesia dengan cara modern.
Namun branding budaya tidak boleh hanya visual. Ia harus disertai dengan nilai moral dan filosofi agar tidak menjadi sekadar “hiasan digital”.
5. Pendidikan Budaya di Dunia Maya
Pendidikan seni dan budaya kini menemukan ruang baru: dunia maya. Melalui YouTube, podcast, dan platform interaktif, guru dan seniman dapat memperluas cakrawala tanpa batas ruang.
Karya-karya Jangkung Laras Indonesia menjadi contoh konkret bagaimana seni pedalangan dapat hidup di ruang digital tanpa kehilangan jiwa. Dengan bahasa modern, namun tetap berpijak pada filosofi klasik.
6. Tantangan: Budaya Klik dan Krisis Nilai
Budaya klik — cepat, viral, dan reaktif — sering menggeser nilai reflektif dan kebijaksanaan yang menjadi inti budaya Timur. Konten dangkal mudah populer, sementara karya mendalam membutuhkan kesabaran untuk diapresiasi.
Inilah tantangan besar ruang digital: bagaimana menjaga agar kebebasan tidak mengorbankan makna. Dalang digital masa kini harus mampu menuntun arah bukan dengan paksaan, tapi dengan keteladanan dan kreativitas.
7. Kearifan Lokal dalam Teknologi Global
Teknologi global bisa menjadi alat pelestarian budaya lokal. Melalui digitalisasi naskah kuno, arsitektur 3D candi, hingga AI yang memahami bahasa daerah, identitas bangsa bisa diperkuat.
Namun, seperti dalang yang mengatur alur cerita, kita harus memastikan bahwa teknologi bekerja untuk manusia, bukan sebaliknya.
8. Etika Digital dan Filsafat Jawa
Filsafat Jawa menekankan harmoni — *memayu hayuning bawana*: memperindah kehidupan dunia. Etika ini dapat diterapkan dalam dunia digital: setiap konten harus membawa manfaat, bukan kebencian.
Dalam algoritma sosial media, kejujuran, sopan santun, dan empati adalah bentuk roso digital yang perlu ditumbuhkan. Inilah jalan menuju AI humanis dan dunia maya yang beradab.
9. Komunitas dan Kolaborasi Budaya
Komunitas kreatif menjadi ujung tombak pelestarian budaya. Dengan dukungan teknologi, mereka dapat membangun jejaring nasional dan internasional.
Pagelaran virtual, kolaborasi lintas negara, hingga AI art bertema Nusantara bisa menjadi cara baru menampilkan keindahan budaya Indonesia ke dunia. Namun, semua itu harus berlandaskan satu hal: kejujuran terhadap jati diri bangsa.
10. Kesimpulan: Identitas Digital yang Berbudaya
Ruang digital bukan ancaman, melainkan peluang — asal digunakan dengan kesadaran. Wayang mengajarkan: bayangan akan indah bila dalangnya bijak. Begitu pula ruang digital: akan bermakna bila dikendalikan oleh manusia yang berbudaya.
Identitas Indonesia di era global bukan lagi soal pakaian adat atau simbol visual, tetapi tentang nilai: kesantunan, empati, gotong royong, dan cinta tanah air.
“Budaya iku ora mung tradisi, nanging cara urip sing njaga rasa.” — Ki Jangkung Sugiyanto