AI Humanis dalam Pendidikan Seni dan Filsafat Jawa Modern
AI Humanis dalam Pendidikan Seni dan Filsafat Jawa Modern
Oleh: Mas Jangkung Sugiyanto – Jangkung Laras Indonesia
Di tengah pesatnya kemajuan teknologi, manusia berhadapan dengan pertanyaan mendasar: apakah kecerdasan buatan (AI) mampu memahami rasa manusia? Filsafat Jawa memberi jawaban: teknologi boleh maju, asal tidak kehilangan *roso* — kesadaran batin yang menuntun kebijaksanaan.
Artikel ini menguraikan bagaimana nilai-nilai Jawa seperti *eling*, *roso sejati*, dan *tepa slira* dapat menjadi fondasi pengembangan AI humanis dalam pendidikan seni modern. Bukan sekadar mencetak kreator digital, tetapi manusia yang beretika, berempati, dan berbudaya.
1. AI dan Seni: Antara Nalar dan Rasa
AI kini dapat menggambar, membuat musik, dan menulis puisi. Namun, karya sejati lahir bukan hanya dari algoritma, melainkan dari rasa. Dalam budaya Jawa, keseimbangan antara *cipta, rasa,* dan *karsa* menjadi inti penciptaan. Teknologi hanyalah alat, sedangkan rasa adalah ruh yang menghidupkannya.
“Ngèlmu tanpa laku iku kaya geni tanpa cahya.” – Wejangan Jawa: Ilmu tanpa rasa bagaikan api tanpa cahaya.
2. Filsafat Jawa dan Human Centered AI
AI humanis bukan berarti melemahkan peran mesin, tetapi menempatkan manusia sebagai pusatnya. Dalam filsafat Jawa, konsep Manunggaling Kawula Gusti menandakan harmoni antara pencipta dan ciptaan. Begitu pula hubungan antara manusia dan teknologi: saling melengkapi, bukan saling meniadakan.
Prinsip ini dapat diadaptasi dalam pendidikan seni: siswa belajar memanfaatkan AI sebagai rekan berpikir, bukan pengganti ide kreatifnya.
3. Pendidikan Seni di Era Kurikulum Merdeka Digital
Kurikulum Merdeka Digital memberi kebebasan eksplorasi. Guru seni kini dapat mengajak siswa menciptakan ilustrasi digital, video interaktif, atau *AI-generated art* tanpa melupakan konteks budaya.
Nilai moral seperti kejujuran, kesederhanaan, dan tanggung jawab bisa disisipkan melalui kegiatan proyek seni berbasis AI. Misalnya: membuat animasi bertema “Rukun Agawe Santosa” atau logo bertema *Andhap Asor*.
4. AI dan Etika Kreativitas
Salah satu dilema terbesar dalam seni digital adalah orisinalitas. AI bisa meniru gaya seniman, tapi tidak bisa meniru pengalaman batin sang pencipta. Oleh karena itu, guru perlu menanamkan prinsip etika:
- Mengakui sumber karya dan dataset yang digunakan.
- Menggunakan AI untuk inspirasi, bukan plagiat.
- Menjaga nilai moral dan budaya dalam setiap hasil visual.
Inilah makna “ngolah roso lan cipta” dalam konteks digital: teknologi harus diolah dengan hati.
5. Empati Digital: Pendidikan untuk Jiwa
Dalam budaya Jawa, pendidikan tidak berhenti di otak, tetapi menyentuh hati. Konsep *empati digital* mengajarkan siswa agar memahami dampak sosial dari teknologi yang mereka gunakan.
Misalnya, sebelum menggunakan AI untuk membuat karya, mereka diajak merenung: apakah karya ini membawa kebaikan? Apakah bisa membuat orang lain belajar, tersenyum, atau sadar nilai luhur?
“Teknologi kang tanpa rasa bakal ngilangaké pangrasa manungsa.” — Ki Jangkung Sugiyanto
6. AI Sebagai Guru Pendamping
AI dapat digunakan untuk memperluas wawasan seni: mengenal gaya visual dunia, menganalisis warna, hingga memberi umpan balik otomatis. Namun, yang tidak tergantikan adalah sentuhan manusia: guru yang mampu membaca emosi, memahami latar budaya, dan menuntun karakter.
Pendekatan ideal adalah Hybrid Pedagogy — kombinasi AI sebagai alat bantu analisis dan guru sebagai pembimbing moral.
7. Roso Digital: Jalan Tengah antara Algoritma dan Nurani
Konsep *roso digital* adalah upaya menghidupkan kesadaran etis dalam penggunaan teknologi. AI dapat menganalisis data, tapi tidak mengerti makna; hanya manusia yang mampu memberi makna itu.
Dengan *roso digital*, siswa belajar menggunakan AI dengan kesadaran spiritual: tidak sekadar cepat dan canggih, tetapi juga bermanfaat dan beretika.
8. Integrasi Budaya Jawa dalam AI Art
Banyak seniman muda kini menggabungkan simbol Jawa seperti gunungan, aksara hanacaraka, dan tokoh wayang ke dalam karya AI Art. Langkah ini menunjukkan bahwa digitalisasi tidak harus meninggalkan akar budaya.
Karya seperti *Gunungan Neural* atau *Semar Digital Guardian* menjadi bukti bahwa tradisi bisa beradaptasi dengan zaman tanpa kehilangan ruh-nya.
9. Tantangan dan Harapan Pendidikan AI Humanis
Tantangan utama bukan teknologi, melainkan kesadaran. Bagaimana mendidik siswa agar tidak takjub pada mesin, tetapi menggunakannya untuk kemaslahatan?
Dengan pendekatan budaya, guru seni bisa menanamkan nilai: ngajeni penciptaan, nyawiji karo alam, lan ngreksa kautaman urip — menghormati proses, menyatu dengan alam, dan menjaga kebaikan hidup.
10. Kesimpulan: Seni, AI, dan Roso Sejati
AI humanis dalam pendidikan seni bukan sekadar konsep teknologi, melainkan gerakan kesadaran. Ia mengajak manusia modern untuk belajar seperti dalang: mengatur alur teknologi dengan kebijaksanaan, bukan keangkuhan.
Filsafat Jawa memberi arah agar manusia tetap menjadi “dalang” atas hidupnya sendiri — memegang kendali atas mesin, bukan dikendalikan olehnya. Inilah tujuan sejati pendidikan: membentuk generasi cerdas sekaligus berjiwa luhur.
