Etika Visual dan Pendidikan Karakter dalam Kurikulum Merdeka Digital

Etika Visual dan Pendidikan Karakter dalam Kurikulum Merdeka Digital

Table of Contents
Etika Visual dan Pendidikan Karakter dalam Kurikulum Merdeka Digital

Etika Visual dan Pendidikan Karakter dalam Kurikulum Merdeka Digital

Oleh: Mas Jangkung Sugiyanto – Jangkung Laras Indonesia

Etika Visual dan Pendidikan Karakter di Era Digital

Perkembangan teknologi telah mengubah cara manusia berkomunikasi, belajar, dan berkreasi. Namun, di balik kemudahan ini, muncul tantangan baru: bagaimana menanamkan nilai etika dan karakter dalam dunia yang semakin visual dan digital?

Kurikulum Merdeka Digital memberi ruang besar bagi kreativitas, kolaborasi, dan teknologi. Namun tanpa panduan etika visual, pembelajaran seni dan media bisa kehilangan arah moralnya. Di sinilah pentingnya mengintegrasikan filsafat budaya Jawa dan nilai humanistik ke dalam pendidikan karakter digital.

1. Apa Itu Etika Visual?

Etika visual adalah kesadaran moral dalam mencipta dan mengonsumsi gambar, video, dan desain digital. Ia mencakup tanggung jawab terhadap kejujuran, hak cipta, estetika, dan dampak sosial dari visual yang disebarkan.

Dalam budaya Jawa, setiap karya visual dianggap memiliki “jiwa” atau roso. Oleh karena itu, gambar atau simbol bukan sekadar bentuk, tetapi juga medium spiritual dan moral. Konsep ini selaras dengan prinsip visual literacy modern — kemampuan memahami pesan etis di balik gambar.

2. Pendidikan Karakter dalam Kurikulum Merdeka

Kurikulum Merdeka menekankan pembentukan pelajar yang beriman, mandiri, bernalar kritis, kreatif, dan gotong royong. Namun, nilai-nilai tersebut tidak dapat diajarkan hanya lewat teori. Seni dan visual menjadi jembatan penting untuk menumbuhkan empati dan kesadaran sosial.

Melalui kegiatan menggambar, animasi, desain, atau film pendek, siswa belajar tentang kejujuran (tidak meniru karya orang lain), tanggung jawab (menyebarkan karya secara etis), dan rasa hormat (menghargai keberagaman budaya).

“Pendidikan seni iku ora mung ngolah tangan, nanging ngolah ati lan rasa.” — Ki Jangkung Sugiyanto

3. Menghubungkan Budaya Jawa dan Etika Visual

Nilai-nilai budaya Jawa dapat menjadi panduan moral dalam dunia visual digital. Misalnya:

  • Andhap Asor – merendahkan diri, tidak sombong dalam menampilkan karya.
  • Tepa Slira – menghormati karya dan hak cipta orang lain.
  • Rukun – menciptakan visual yang menebarkan harmoni, bukan kebencian.

Dengan menerapkan nilai-nilai ini, pendidikan visual tidak hanya menghasilkan seniman yang mahir, tetapi juga manusia yang berkarakter.

4. Tantangan Etika di Dunia AI dan Media Digital

Teknologi AI (Artificial Intelligence) kini dapat menciptakan karya visual dalam hitungan detik. Namun, kemudahan ini sering mengaburkan batas antara orisinalitas dan plagiarisme.

Guru dan siswa perlu memahami etika penggunaan AI. Teknologi dapat digunakan untuk mempercepat proses kreatif, tetapi harus tetap menghormati nilai kemanusiaan, keaslian ide, dan hak pencipta.

Sebagaimana dalam falsafah Jawa, “Ora kabeh sing anyar kudu ditiru, nanging sing becik kudu ditiru.” Artinya, tidak semua yang baru layak diikuti; hanya yang baik dan bermoral yang patut diambil.

5. Desain Visual sebagai Sarana Pendidikan Karakter

Setiap karya visual yang dihasilkan siswa dapat menjadi cermin nilai-nilai karakter. Desain poster tentang gotong royong, ilustrasi toleransi, atau animasi yang mengajarkan kesederhanaan — semuanya bisa menjadi media pembentukan moral yang efektif.

Pendidikan seni rupa di Kurikulum Merdeka mendorong siswa untuk bereksperimen dan mengekspresikan diri, namun guru perlu menjadi penuntun moral: menanamkan makna di balik estetika.

6. Kolaborasi Guru dan Teknologi: Pendidikan Humanis

AI bukan ancaman bagi guru seni; justru bisa menjadi mitra dalam mengembangkan pembelajaran personal dan kreatif. AI dapat membantu analisis warna, komposisi, bahkan menilai emosi dalam karya siswa. Namun yang menentukan arah tetap manusia: guru yang memahami nilai budaya dan karakter.

Pendidikan visual yang humanis bukan hanya melahirkan desainer, tetapi pribadi yang memiliki rasa estetis dan empati sosial. Inilah makna sejati dari pendidikan karakter di era digital.

7. Etika Digital dalam Media Sosial dan Konten Kreatif

Pelajar dan mahasiswa kini menjadi kreator konten di media sosial. Namun, tidak semua konten membawa kebaikan. Etika visual menjadi penting agar karya yang diunggah tidak menyesatkan, tidak menyebar kebencian, dan tidak meniru secara sembarangan.

Konsep unggah-ungguh digital dari budaya Jawa bisa diterapkan: menulis dengan sopan, berbagi dengan niat baik, dan tidak mempermalukan orang lain. Hal sederhana ini menciptakan ruang digital yang lebih sehat dan beradab.

8. Peran Sekolah dan Komunitas Seni

Sekolah, kampus, dan komunitas seni perlu bekerja sama untuk membangun ekosistem etika visual. Kegiatan seperti pameran digital, lomba desain bertema budaya, atau kolaborasi lintas daerah dapat menumbuhkan rasa bangga terhadap identitas bangsa.

Komunitas seperti Jangkung Laras Indonesia telah menunjukkan bahwa seni bisa menjadi sarana membangun kesadaran roso di dunia digital. Melalui pelatihan dan konten edukatif, mereka menghubungkan seni tradisi dengan dunia modern secara seimbang.

9. Integrasi Etika Visual dalam Kurikulum Seni

Guru seni dapat mengintegrasikan etika visual dalam kegiatan pembelajaran:

  • Menilai karya berdasarkan makna moral, bukan hanya teknik.
  • Mendorong siswa memahami dampak sosial dari setiap visual.
  • Mengajarkan refleksi budaya: mengaitkan karya dengan nilai-nilai lokal.

Dengan pendekatan ini, siswa tidak hanya kreatif tetapi juga memiliki kesadaran sosial dan tanggung jawab terhadap karya visualnya.

10. Kesimpulan: Membangun Generasi Visual yang Berkarakter

Etika visual adalah fondasi penting dalam pendidikan abad ke-21. Ia membentuk generasi yang kreatif, namun tetap berpijak pada moralitas dan empati. Dengan mengintegrasikan budaya Jawa dan teknologi, pendidikan seni menjadi wahana pembentukan manusia seutuhnya — manusia yang berpikir, merasa, dan bertindak dengan kesadaran.

Sebagaimana pesan Ki Jangkung Sugiyanto: “Seni iku cahya saka ati. Yen atiné resik, karyané mesti padhang.” — Seni adalah cahaya dari hati; jika hatinya bersih, karyanya pasti bercahaya.