Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe & Aja Golek Jenang : Etos Kerja Jawa

Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe & Aja Golek Jenang : Etos Kerja Jawa

Daftar Isi

 Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe 

Mengulas etos kerja Jawa yang berfokus pada kontribusi tanpa mengharapkan pujian.


Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe


Pengertian Dan Terjemahan

Pengertian saya soal ini adalah, pertama terjemahan : sunyi di pamrih, banyak bekerja. Arti dari kata Jawa satu ini adalah bekerja dengan serius tanpa mengharap upah terlebih dahulu. Etos kerja Jawa, ya ini adalah semangat kerja yang tidak semata-mata (aleman), mengharap pujian. Karena pada dasarnya kerja adalah tanggung jawab yang diemban dengan penuh amanah. 

Dalam ranah seni seperti saya, seorang dalang memang penuh tantangan sesuai dengan kata Jawa ini, yang terpenting didahulukan adalah kualitas, dan maksimal dalam membawakan pentas. Fokus pada pertunjukan dan apa yang akan disampaikan kepada penonton. Saya kira ini juga sama dengan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan banyak orang. 

Aja Golek Jenang

Ini meningatkan saya pada kata Jawa yang berbunyi “ AJA GOLEK JENANG, NING GOLEK JENENG DHISIK”. Terjemahan dari kata Jawa ini adalah “Jangan mencari jenang, tapi cari nama dulu”, saya kira pembaca sudah mengetahui maksud dari kata ini. Dalam bekerja apalagi saya seorang seniman, bukan hanya mencari pendapatan dengan mata pencarian ini, namun yang utama adalah kepuasan penonton, maka dengan kualitas dan kemampuan yang terbukti, soal rejeki akan datang sendiri sesuai dengan porsi kita. Saya menemukan beberapa pilar penting, yaitu tanggung jawab, kualitas, perkembangan, kepercayaan, dan kuantitas yang akan saya masukan dalam artikel ini.

Etos Kerja Jawa

Saya ingin mengembangkan gagasan ini tanpa mengubah kata-kata inti yang sudah saya tulis di atas. Saya sadar bahwa etos kerja Jawa bukan sekadar slogan, melainkan praktik yang membentuk karakter. Ketika saya duduk memandang panggung selepas pentas, saya sering merenung: pekerjaan yang ikhlas adalah pekerjaan yang dikerjakan untuk kualitas, bukan untuk sorak sorai. 

Seorang dalang yang menjalankan prinsip sepi ing pamrih, rame ing gawe akan menata lakon, suara, dan gerak tanpa berharap tepuk tangan pada akhir cerita. Etos semacam ini menempatkan penonton dan pesan sebagai pusat, bukan pamrih pribadi. Etos semacam ini menuntut konsistensi. Kerja yang dilakukan sekali dua kali dengan niat baik tidak cukup untuk membangun reputasi. 

Pilar

Oleh sebab itu pilar tanggung jawab menjadi kata kunci yang harus dimiliki. Tanggung jawab berarti hadir di setiap latihan, menjaga kelestarian naskah, menghormati pamong budaya, serta memenuhi janji pentas. 

Pilar kedua adalah kualitas. Kualitas bukan hanya soal teknik memainkan wayang atau fasih menyusun suluk; kualitas adalah integritas dalam berkarya, kejujuran pemilihan bahan, ketelitian tata suara, dan kesetiaan terhadap pakem meski godaan modern terus datang.

Perkembangan menjadi pilar ketiga karena seni yang tidak berkembang akan mudah tenggelam. Perkembangan di sini bukan berarti meninggalkan pakem, melainkan memperkaya cara penyampaian agar relevan dengan audiens masa kini. Misalnya, menata pencahayaan yang lebih baik, penggunaan bahasa yang tetap santun tetapi mudah dipahami generasi muda, atau bentuk kolaborasi yang menghormati akar tradisi. Ketika seorang dalang berkembang, ia tidak kehilangan jati diri; ia justru memperluas jangkauan pesan dan kesinambungan cerita agar pesan sampai pada hati penonton.

Kepercayaan adalah pilar keempat. Kepercayaan publik muncul ketika konsistensi, kualitas, dan tanggung jawab dipertunjukkan secara berulang. Kepercayaan itu tidak instan; ia terbangun dari waktu ke waktu. Seseorang akan dipercaya bukan karena ia paling riuh mempromosikan diri, melainkan karena karya dan sikapnya mencerminkan nilai. 

Dalam konteks saya, bila penonton pulang dengan perasaan terhibur dan tercerahkan, reputasi akan menempel. Kepercayaan ini menjadi modal sosial yang pada akhirnya juga membuka pintu rejeki bila dikelola dengan bijak.

Kuantitas kadang disalahpahami. Bukan berarti beramai-ramai tanpa mutu, tetapi kuantitas yang dimaksud adalah produktivitas yang seimbang dengan kualitas. Bekerja tanpa henti namun tanpa perbaikan kualitas akan menghasilkan produk yang cepat menurun nilainya. 

Sebaliknya, produktivitas yang dipandu etos akan menghasilkan karya-karya yang lebih banyak dan tetap terjaga mutunya. Prinsip sepi ing pamrih mengajarkan kita untuk bekerja rajin, tetapi juga cerdas: waktu istirahat, refleksi, dan latihan harus menjadi bagian dari ritme kerja.

Relevansi

Ada ungkapan Jawa yang relevan: “aja golek jenang, ning golek jeneng dhisik.” Dalam praktik seni, saya memaknainya sebagai fokus pada reputasi dan ketiadaan pamrih pribadi. Jika kita bekerja untuk jeneng—untuk nama yang beroleh penghormatan karena kualitas—maka jenang atau materi akan mengiringi dengan sendirinya. 

Ini bukan sekadar retorika moral; ini strategi berkelanjutan. Publik menaruh kepercayaan pada mereka yang menempatkan kualitas dan tanggung jawab di depan. Dari kepercayaan itulah peluang ekonomi lahir, bukan dari kepanikan atau promosi yang berlebihan.

Praktik harian sepi ing pamrih bisa dimulai dengan kebiasaan sederhana: menyiapkan panggung dengan teliti, mengecek alat musik, membaca naskah beberapa kali, menegakkan etika komunikasi dengan kru, dan datang lebih awal. 

Hal-hal kecil ini terkadang disamakan dengan rutinitas, tetapi sejatinya rutinitas yang disiplin adalah wujud pengabdian. Ini pula yang saya lakukan: setiap latihan saya datang dengan catatan kecil, memperbaiki satu kalimat, atau menata satu gerakan agar lebih tepat. Perubahan kecil berulang inilah yang menjadi akar kualitas.

Manfaat

Dalam konteks komunitas, etos sepi ing pamrih mendorong kolaborasi sehat. Ketika setiap anggota tim bekerja tanpa pamrih, tujuan bersama menjadi pusat perhatian. Seorang penabuh gamelan, seorang dalang, dan seorang penata cahaya yang semua menjunjung prinsip ini akan menciptakan pertunjukan yang selaras. Tanpa pamrih pribadi, konflik kecil akan lebih mudah diselesaikan karena fokusnya bukan peran pribadi, melainkan hasil karya bersama. Kebersamaan seperti ini mencipta suasana kerja yang hangat dan produktif.

Dimensi Spiritual

Ada juga dimensi spiritual dalam etos ini. Ikhlas dalam bekerja menyentuh dimensi batin, memberikan ketenangan, serta mengurangi keinginan-perbandingan yang merusak kebersamaan. Dalam tradisi Jawa, laku kerja yang ikhlas adalah bentuk ibadah sosial; kerja menjadi medium menempa diri sendiri. Saya merasakan, ketika bekerja dengan niat yang bersih, maka energi pentas terasa berbeda: lebih tulus dan mengena. Penonton pun, seringkali tanpa sadar, merespons ketulusan itu.

Namun bukan berarti etos ini mengharuskan kemiskinan atau pengabaian terhadap kebutuhan hidup. Sebaliknya, etos ini mengajarkan keseimbangan: berusaha maksimal, menempatkan kualitas di depan, namun menerima bahwa rejeki adalah bagian dari proses yang tidak seluruhnya di luar kendali kita. 

Soal Kuantitas

Di sinilah arti pragmatis muncul: kelola keuangan, tawarkan harga yang adil, dan jangan lupa bernegosiasi dengan hormat. Karya berkualitas pantas dihargai, dan menuntut upah bukanlah pamrih melainkan pemenuhan tanggung jawab sosial bagi pelaku seni.

Penutup dan Kesimpulan

Ketika saya menuliskan ini, saya mengingat banyak nama yang telah menoreh jejak karena etos sepi ing pamrih. Mereka bukan yang paling vokal, tetapi karya mereka tetap bertahan. Itu pelajaran penting: ketenaran cepat mungkin datang, namun yang langgeng adalah nama yang dibangun oleh kerja jujur. Sebagai penutup, saya ingin menegaskan: Etos Jawa ini bukan dogma yang mengekang, melainkan pedoman yang hidup kerja bermakna.