“Pemahaman Pribadiku tentang Gending Jawa”

“Pemahaman Pribadiku tentang Gending Jawa”

Daftar Isi

“Pemahaman Pribadiku tentang Gending Jawa”

Ini adalah pendapat saya setelah membaca naskah asli


gending jawa


Pendahuluan — dari kata pencarian yang sering muncul

Ketika saya mencoba mencari tentang “apa itu gending Jawa”, “fungsi irama dalam gamelan”, sampai “perbedaan slendro dan pelog”, saya menemukan banyak tulisan yang membahas hal-hal teknis. Tetapi setelah membaca sebuah naskah lama karya Ki Hadjar Dewantara dan M.Ng. Najawirangka, saya merasa perlu menuliskannya ulang dengan cara saya sendiri.
Saya bukan ahli. Saya hanya ingin memahami dan menyampaikan apa yang saya tangkap dengan bahasa yang lebih ringan.


1. Gending itu bukan sekadar musik

Yang saya pahami dari membaca naskah itu adalah bahwa gending bukan sekadar bunyi-bunyian. Di dalamnya ada unsur latihan batin: melatih rasa teratur, sabar, halus, bersih, dan peka terhadap ritme. Saya baru sadar bahwa musik Jawa itu tidak hanya menyenangkan telinga, tapi juga bisa menata perasaan.

Di masa lalu, rupanya para wali seperti Sunan Kalijaga dan Sunan Giri juga memakai gending untuk tujuan yang mulia — bukan sekadar hiburan. Bahkan di dunia Barat, gereja memakai musik untuk membangun suasana jiwa. Jadi rupanya musik sudah lama dianggap sebagai sarana memperbaiki karakter.


2. Pentingnya memahami ilmu gending secara benar

Saat membaca, saya melihat kritik halus terhadap cara belajar gending di zaman dulu. Banyak hal diajarkan hanya berdasarkan kebiasaan, perasaan, dan kadang mitos. Tidak ada sistem yang rapi, sehingga murid mudah bingung.

Saya setuju dengan pemikiran mereka: kalau musik Jawa ingin berkembang, ilmunya harus disusun dengan lebih jelas. Tidak semua tradisi harus dibuang, tapi juga tidak semua harus dipertahankan kalau membuat kemajuan terhalang.


3. Apa sebenarnya yang disebut gending?

Cara saya memahami setelah membaca:

  • Gending itu irama yang terdengar.

  • Irama adalah “nyawa”-nya, sedangkan bunyi gamelan itu “tubuh”-nya.

  • Kalau iramanya tidak kuat, gending akan terasa hambar — meskipun nadanya hanya satu atau dua.

Beberapa gending kuno seperti Gangsaran atau Munggang menggunakan nada sangat sedikit, tapi tetap terasa kuat karena iramanya hidup. Jadi yang penting bukan banyaknya nada, tetapi napas ritmenya.


4. Irama adalah refleksi hidup

Penjelasan yang paling saya suka adalah bahwa irama itu bagian dari kehidupan. Siang–malam, bulan–matahari, bahkan detak jantung, semuanya punya ritme. Jadi ketika kita memainkan gamelan, kita sebenarnya sedang “mengikuti” pola alam yang sudah ada. Itu membuat saya merasa musik Jawa sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari.


5. Sumber suara dalam gending

Dalam pemahaman saya, ada dua jenis suara:

  • Suara manusia → disebut sekar atau tembang

  • Suara gamelan → disebut gending

Keduanya saling melengkapi. Kadang orang menyebut keduanya “lagu”, tapi kalau diuraikan ada perannya masing-masing.


6. Pembagian jenis gending

Saya menulis ulang ini tidak mengikuti urutan asli, tapi intinya begini:

  • Ada gending yang panjang dan lambat → sifatnya dalam, tenang

  • Ada yang tengah-tengah → irama sedang

  • Ada yang cepat → ringan dan lincah

Mirip seperti tembang macapat yang juga ada versi berat sampai yang ceria.


7. Irama dalam tembang berbeda dari gamelan

Yang saya tangkap:

  • Tembang Jawa bisa lebih bebas, mengikuti rasa penyanyinya.

  • Gending gamelan harus mengikuti aturan yang tetap.

  • Kalau tembang menyatu dengan gamelan (seperti dalam wayang), maka ia ikut aturan irama gamelan.


8. Tentang laras dan pathet

Penjelasan ini cukup teknis, tapi saya coba sederhanakan:

  • Laras adalah “tangga nada”-nya.

  • Pathet adalah “wilayah rasa” dalam laras tersebut.

Dalam gending Jawa, ada dua laras besar:

  1. Slendro → jarak nadanya lebih merata, terasa lebih tegas dan ceria

  2. Pelog → jaraknya tidak sama, rasanya lebih kaya dan kadang sendu

Dari dua laras itu, masih dibagi lagi menurut suasana dan waktu. Misalnya:

  • Slendro Enem → seperti rasa suasana sore yang lugu

  • Slendro Sanga → cocok tengah malam, suasananya dewasa

  • Slendro Manyura → untuk menjelang pagi, rasanya segar

Dulu saya tidak tahu bahwa gending itu punya “waktu”. Setelah membaca, saya baru paham kenapa uyon-uyon malam selalu punya nuansa yang khas.


9. Pembagian pathet di Pelog

Ini lebih teknis lagi, tapi inti yang saya pahami:

  • Gangsal → sendu

  • Enem → halus

  • Barang → ceria

Setiap pathet punya “nada utama” dan nuansa emosionalnya sendiri.


10. Menentukan jenis gending

Penjelasan aslinya cukup detail, tapi saya menyimpulkan begini:

Untuk tahu sebuah gending jenisnya apa, cukup lihat:

  • berapa ketukan kethuk-nya

  • kendhang apa yang dipakai

  • laras dan pathetnya

Dari situ kita bisa menebak karakter gending.


11. Tentang notasi

Saya pribadi baru tahu bahwa menulis notasi gamelan itu tidak harus memakai standar Barat. Bisa pakai garis, angka, huruf, dan semuanya harus menyesuaikan karakter nada Jawa yang tidak sama jaraknya dengan musik Barat.

Yang penting: notasi hanya alat bantu, bukan pengganti rasa.


12. Cara belajar karawitan

Ringkasnya menurut pemahaman saya:

  1. Mulai dari alat-alat dasar: saron, demung, kenong, gong.

  2. Dilanjutkan ke pola-pola hiasan: imbal, cengkok, ukel.

  3. Setelah irama benar-benar dipahami → baru belajar kendhang.

Menurut saya ini masuk akal karena kendhang adalah “pengemudi” seluruh gamelan.


13. Pentingnya penelitian baru

Poin ini membuat saya merasa musik Jawa tetap terbuka untuk berkembang. Naskah lama itu mendorong orang untuk melakukan penelitian baru tanpa kehilangan akar budaya.


14. Kehidupan para niyaga

Ada pesan bahwa nasib para penabuh gamelan perlu diperhatikan agar setara dengan profesi seni lain. Ini terasa sangat relevan sampai sekarang.


“Catatan Pemahamanku tentang Laras, Pathet, dan Cara Memahami Gending”

(Ditulis sebagai orang yang belajar dari naskah klasik, tetapi menuliskan ulang dengan bahasanya sendiri)


Pendahuluan – kata pencarian yang membawa saya ke sini

Ketika saya mencari tentang “apa itu laras slendro”, “pengertian pathet”, dan “kenapa gamelan Jawa punya waktu tertentu”, saya sering merasa bingung karena penjelasannya teknis sekali. Setelah membaca naskah lama peninggalan para empu karawitan, saya mencoba merangkum ulang bagian-bagian penting dengan gaya saya sendiri, supaya lebih mudah dipahami orang yang baru belajar seperti saya.


1. Cara saya memahami laras Slendro dan Pelog

Naskah aslinya sangat detail tentang perbedaan dua laras utama itu, tapi ketika saya menyederhanakan di kepala saya jadinya begini:

Laras Slendro

Suara-suara dalam laras ini seperti turun naiknya halus, jarak antar nadanya terasa merata.
Karena itu, ketika didengarkan, musiknya terkesan lebih terbuka dan tegas.
Saya pribadi merasa Slendro itu seperti suasana terang—tidak terlalu berat.

Laras Pelog

Kalau Pelog, nadanya lebih “rapat” atau “jauh” di bagian tertentu.
Akibatnya rasa musiknya lebih rumit dan kadang sendu.
Orang bilang Pelog itu kaya warna, dan setelah saya dengarkan, memang terasa lebih dramatis.

Dua laras ini seperti dua cara memandang dunia:
ada yang sederhana dan terang (Slendro), ada yang lebih mendalam dan penuh nuansa (Pelog).


2. Tentang nada-nada khusus

Setelah membaca, saya jadi tahu bahwa dalam gamelan ada nada tertentu yang hanya muncul sesekali, seperti Bem atau Pelog khusus.
Saya membayangkannya seperti bumbu tambahan dalam masakan:
tidak selalu dipakai, tapi ketika muncul, rasanya langsung berubah.

Nada-nada yang dinaikkan atau diturunkan sedikit ini membuat gamelan terasa hidup.


3. Laras Barang-Miring, yang paling tua

Di bagian ini saya agak takjub.
Ternyata sebelum orang Jawa pandai membuat gamelan dari logam, musiknya masih memakai alat dari bambu dan kayu.

Laras Barang-miring adalah peninggalan zaman itu.

Bagi telinga saya sendiri, laras ini seperti gabungan antara rasa Slendro dan Pelog. Ada bagian yang terang, ada bagian yang seperti melengkung lembut. Meski memakai gamelan slendro, rasanya tetap membawa sedikit aroma pelog.


4. Tentang Pathet — pemahaman versi saya

Kalau “laras” itu ibarat tangga nada, maka “pathet” itu seperti “wilayah emosinya”.

Setelah membaca naskah itu, saya menyimpulkan kira-kira seperti ini:


Pathet dalam Slendro

1) Enem → nuansa sore, ringan, polos
2) Sanga → suasana malam, lebih dewasa
3) Manyura → menjelang pagi, terasa segar

Menurut saya, pembagian waktu ini menunjukkan bahwa musik Jawa tidak berdiri sendiri, tapi menyatu dengan ritme kehidupan sehari-hari.


Pathet dalam Pelog

1) Gangsal → rasa sedih atau lembut
2) Enem → tenang dan halus
3) Barang → cerah dan hidup

Yang saya rasakan: pathet dalam Pelog lebih “berwarna”, mungkin karena nadanya sendiri lebih beragam.


5. Tentang peralihan antar pathet

Naskah aslinya menjelaskan teknis sekali, tapi saya menangkap intinya:

Ada pathet yang bisa saling mendekat rasanya, seperti Enem–Manyura dalam Slendro.
Ini seperti dua suasana yang bersebelahan; kita bisa berpindah tanpa terasa patah.

Hal-hal seperti ini yang membuat musik Jawa terasa alami.


6. Gagasan tentang pathet baru

Ada satu bagian menarik: para penulis naskah lama itu sebenarnya tidak anti pembaruan. Mereka bilang:

membuat pathet baru itu boleh, asalkan ada pemainnya dan ada zamannya.

Menurut saya, itu sangat modern.
Artinya budaya boleh berkembang, tapi harus tetap punya dasar rasa.


7. Mengenal karakter gending lewat kethuk dan kendhang

Saya baru mengerti bahwa untuk mengetahui jenis sebuah gending, kita bisa melihat:

  • jumlah ketukan kethuknya,

  • dan jenis pola kendhang yang digunakan.

Dari situ kita bisa “membaca” apakah gending itu lambat, berat, ringan, atau cepat.
Ini membuat saya berpikir bahwa gamelan itu punya sistem yang sangat rapi di balik tampilannya yang sederhana.


8. Soal tulisan notasi

Saya menangkap bahwa notasi cuma alat bantu.
Yang penting tetap perasaan pemainnya—karena gamelan punya banyak suara halus yang tidak bisa digambarkan dengan tanda biasa.

Saya merasa ini alasan kenapa banyak niyaga tua tidak bergantung pada tulisan, tapi lebih pada rasa.


9. Cara belajar karawitan — dari alat besar ke pola kecil

Naskahnya mengatakan urutannya seperti ini:

  1. Mulai dari irama dasar dengan alat seperti demung, saron, kenong, gong.

  2. Baru belajar isian seperti cengkok, imbal, dan ukel.

  3. Setelah itu baru masuk ke kendhang.

Ketika saya pikir-pikir, urutan ini memang masuk akal.
Kalau belum kuat di irama dasar, memaksa belajar kendhang justru membuat kacau.


10. Titi lagu untuk pathet tertentu

Ada semacam tabel tentang nada-nada khas tiap pathet.
Saya jujur tidak menghafal semuanya, tapi saya menangkap pesan penting:

setiap pathet punya pola nada yang menjadi ciri khasnya.

Ini seperti warna dasar yang dipakai untuk melukis.
Kalau tahu warnanya, kita bisa membuat gambar yang pas.


11. Dorongan untuk penelitian baru

Bagian ini terasa sangat visioner.
Para penulis mendorong generasi berikutnya untuk:

  • tetap menjaga dasar budaya,

  • tapi juga berani meneliti dan menyesuaikan dengan zaman.

Saya merasa itu pesan penting bagi semua seniman Jawa hari ini.


12. Kehidupan para niyaga

Salah satu bagian yang menyentuh hati saya adalah tentang kesejahteraan pemain gamelan.
Mereka menginginkan para niyaga mendapat penghargaan layaknya ahli musik lainnya, termasuk sarana tempat duduk yang layak dan kondisi pementasan yang baik.

Menurut saya ini sangat relevan hingga sekarang.

“Catatan Pribadiku tentang Catatan Tambahan, Gending-Gending Langka, dan Pemahaman Wirama”


Pendahuluan — kata pencarian yang menuntunku

Setelah mencari hal-hal seperti “jenis gending Surakarta”, “apa itu gending majemuk”, dan “fungsi kendhang dalam gamelan”, saya membaca bagian akhir naskah tua yang sangat rinci. Karena cukup berat, saya mencoba menuliskannya ulang dengan gaya saya sendiri—tidak persis, tidak akademik, hanya sebatas yang saya pahami.


1. Catatan tambahan dari seorang ahli lama

Bagian akhir naskah berisi komentar dari seorang tokoh karawitan Surakarta. Bagi saya, komentar-komentar ini seperti orang tua yang memberi klarifikasi—bukan untuk menyalahkan, tapi untuk melengkapi.

Yang saya tangkap:

  • Banyak hal dalam gending memang rumit,

  • Tapi selalu ada alasan sejarah di balik setiap keanehan,

  • Dan kadang satu tradisi muncul bukan karena “aturan”, tapi karena “kejadian”.

Ini membuat saya merasa musik Jawa tidak digarap oleh teori, tapi oleh pengalaman panjang para pemain.


2. Pembagian jenis gending yang lebih lengkap (versi pemahamanku)

Di naskah lama, gending-gending dijelaskan banyak sekali. Tapi untuk saya pribadi, supaya tidak pusing, saya ringkas begini:

a. Gending yang besar (panjang)

Biasanya iramanya tenang, banyak ruang, dan kentongan/kenongnya jarang berbunyi.
Biasanya dipakai untuk suasana yang meriah atau sakral.

b. Gending tengah

Tidak lambat tapi juga tidak cepat.
Seperti langkah orang berjalan santai.

c. Gending pendek dan cepat

Mirip lagu-lagu untuk tari atau bagian-bagian yang lincah.
Gongnya lebih sering muncul.

d. Gending yang “tidak teratur”

Ada jenis tertentu yang kenong dan gongnya tidak punya pola tetap.
Ini membuatnya terasa liar, tapi justru di situlah cirinya.

Saya jadi sadar bahwa musik Jawa tidak hanya satu warna. Ada yang formal, tapi ada juga yang spontan.


3. Wirama yang tidak selalu stabil

Di buku itu ada istilah “ulat-ulatan”, yang saya pahami sebagai getaran kecil atau permainan variasi dalam irama. Saya menyederhanakannya seperti ini:

  • Wirama yang hidup → ada ulat-ulatan, ada gerakan halus

  • Wirama yang mati → tidak ada variasi, terasa kaku

Saya kira ini mirip seperti orang berbicara:
kalau monoton terus, pasti membosankan.
Musik pun begitu—ia perlu bernapas.


4. Kisah tentang gending Kodhokngorek dan Munggang

Bagian ini paling menarik bagi saya karena seperti cerita sejarah.

Dari apa yang saya mengerti:

  • Kodhokngorek adalah salah satu gamelan khusus yang punya suara sangat berbeda.

  • Konon dipakai untuk membangkitkan keberanian prajurit.

  • Di masa tertentu, dua gending sakral selalu dimainkan: satu untuk penghormatan, satu untuk membangkitkan semangat.

Ini membuat saya berpikir bahwa gending bukan hanya musik, tapi juga alat upacara yang punya fungsi psikologis.


5. Tentang pathetan dan ada-ada

Ini bagian teknis, tapi saya pahami seperti ini:

Ada nyanyian tertentu (pathetan) yang memperkuat rasa laras dan pathetnya.
Jika suasananya mengarah ke nada kecil, temponya cenderung naik.
Kalau ke nada besar, justru turun sedikit.

Saya melihat ini seperti pepatah “rasa dulu, aturan belakangan”.
Musik Jawa memang mengikuti rasa, bukan angka.


6. Meluruskan kesalahan-kesalahan kecil dari penjelasan sebelumnya

Penulis komentar dalam naskah menunjukkan beberapa contoh penamaan gending yang salah. Tapi cara beliau menjelaskan tidak menggurui—lebih seperti bapak-bapak yang bilang:

“Lho, Nak, itu sebenarnya begini, supaya tidak rancu.”

Yang saya pelajari:

  • Nama gending sering berasal dari sejarah yang panjang,

  • Dan perbedaannya kadang cuma sedikit,

  • Tapi maknanya besar bagi mereka yang memahami.

Dari situ saya merasa budaya Jawa memang teliti soal istilah.


7. Penjelasan tentang alat gamelan — versi penyederhanaanku

Saya tulis seturut pemahaman saya sendiri:

  • Kendhang → mengatur kecepatan dan memimpin kelompok

  • Rebab → memberi arah melodi; tanpa ini, musik terasa “kosong”

  • Bonang → memberi tanda-tanda penting dalam lagu

  • Gender → mengisi ruang-ruang dengan hiasan halus

  • Gambang → seperti air mengalir

  • Suling → memberi napas, memberi angin

  • Celempung → memperindah, seperti bunga dalam vas

  • Saron/demung → tulang punggung nada

  • Kethuk–kempyang–kenong–gong → struktur utama, seperti titik koma dalam tulisan

  • Kemanak → alat khusus, tidak muncul sembarangan

Bagi saya, harmoni gamelan itu seperti keluarga besar—semua punya tugas masing-masing.


8. Gending nyebal dan gending majemuk (pemahaman sederhana)

Ada gending-gending yang dianggap “nyebal”, artinya polanya menyimpang dari kebiasaan.

Interpretasi saya:

  • kadang perubahan terjadi karena kekhilafan saat memainkan,

  • tapi karena terdengar indah, akhirnya diteruskan turun-temurun.

Ini mengajarkan saya bahwa kesalahan pun bisa menjadi tradisi bila diterima bersama.


9. Tentang “minggah” (peningkatan struktur gending)

Saya ringkas begini:

  • Gending tertentu bisa “naik tingkat” ke pola yang lebih rapat atau lebih cepat.

  • Tapi naik tidak selalu berarti tambah panjang—kadang justru jumlah ketukannya berkurang.

Saya membayangkan ini seperti babak dalam cerita:
dari santai → tegang → puncak → turun lagi.


10. Laras Barang-Miring versi Surakarta

Dalam bagian ini disebutkan contoh-contoh kapan laras itu dipakai.

Pemahaman pribadi saya:

  • Ada laras-laras tertentu yang hanya muncul pada adegan atau suasana tertentu saja,

  • terutama untuk tokoh-tokoh khusus seperti raksasa atau tokoh panakawan.

Menurut saya ini menegaskan bahwa musik Jawa tidak dipakai sembarangan.


11. Urutan pathet dalam klènèngan

Dari urutan waktu-waktu yang dijelaskan, saya menyimpulkan bahwa:

  • Musik Jawa mengikuti waktu harian,

  • Ada jam untuk nada yang berat,

  • Ada jam untuk nada yang cerah,

  • Dan ada kombinasi tertentu yang tidak cocok diputarkan pada siang hari.

Saya merasa ini seperti “aturan tak tertulis” yang terbentuk dari kebiasaan panjang.


12. Cerita tentang “Nyamat-Mas”

Ada satu bagian yang saya suka: cerita seorang putri yang bertapa, lalu dari kisah itu muncul istilah untuk nuansa tertentu dalam gending.

Kesan saya:

Musik Jawa sering memakai sejarah atau tokoh untuk memberi nama rasa musiknya.

Dan itu membuatnya kaya makna.


13. Tentang membuat pathet atau laras baru

Penulis memberikan pesan yang sangat logis:

  • boleh saja membuat hal baru,

  • tapi harus ada orang yang memainkannya,

  • dan harus cocok dengan rasa zamannya.

Menurut saya, ini cara elegan untuk menyeimbangkan tradisi dan kreativitas.


14. Kendhangan baru dan pentingnya memahami pola lama

Kesimpulan yang saya tangkap:

sebelum membuat kendhangan baru, kuasai semua yang lama dulu.

Saya pikir ini nasihat penting.
Seperti belajar menulis: harus bisa meniru dulu sebelum menciptakan gaya sendiri.


15. Penutup — kesan saya

Naskah lama itu ditutup dengan sikap rendah hati dari sang penulis. Ia mengakui bisa keliru dan membuka ruang untuk dikoreksi.

Dari sini saya belajar bahwa seorang ahli sejati tidak memaksakan pendapat, tapi justru mengajak orang lain berdiskusi.

Catatan Kaki (Sumber Referensi Asli)

Tulisan ini merupakan rangkuman dan interpretasi pribadi berdasarkan pembacaan terhadap naskah klasik berikut:

[1] Ki Hadjar Dewantara & M.Ng. Najawirangka. Kawruh Gending Jawa.
Dicetak oleh Toko Buku Sadu-Budi, Surakarta.
Termuat dalam Pusakajawi, Edisi 1936.
Naskah asli disusun untuk Musyawarah Ahli Gending Jawa di Pendhapa Sonobudoyo, Yogyakarta, 12 Desember 1935 & 26 Maret 1936.

Penulisan ini bukan reproduksi atau terjemahan langsung dari naskah, tetapi penafsiran bebas, ringkasan naratif, dan pemahaman pribadi penulis setelah membaca sumber tersebut.