📚 Menggali Samudra Kearifan Jawa: 18 Peribahasa sebagai Pemandu Etika dan Moralitas Kontemporer

📚 Menggali Samudra Kearifan Jawa: 18 Peribahasa sebagai Pemandu Etika dan Moralitas Kontemporer

Table of Contents

📚 Menggali Samudra Kearifan Jawa: 18 Peribahasa sebagai Pemandu Etika dan Moralitas Kontemporer

Di tengah pusaran kompleksitas kehidupan modern dan kecepatan arus informasi, warisan kearifan lokal seringkali terlupakan. Namun, di balik ungkapan-ungkapan kuno tersimpan kristalisasi pengalaman kolektif yang tak lekang oleh zaman. Bahasa Jawa, melalui *paribasan, bebasan*, dan *saloka*, menawarkan peta jalan etika dan moralitas yang sangat relevan untuk konteks kepemimpinan, bisnis, dan keseimbangan hidup saat ini. Artikel ini membedah 18 peribahasa mendalam, menjadikannya panduan praktis untuk mencapai integritas, *resilience*, dan kebijaksanaan sejati.


I. Filososfi Aksi dan Reaksi: Nilai Transaksi Kebaikan dan Risiko Komunikasi

1. 🤝 Dagang Tuna Andum Bathi: Prinsip Gotong Royong dalam Rantai Kebaikan

Ngibarat: wong gawe kabêcikan marang liyan, nanging nganggo lantaran manèh, iku katrima wong loro-lorone, kang agawe kabêcikan lan lantarane.

Secara harfiah berarti 'berdagang rugi tetapi untung dibagi', namun filosofinya jauh lebih dalam. Peribahasa ini mengajarkan etika delegasi dan pengakuan. Kebaikan (*kabêcikan*) yang disalurkan melalui perantara (*lantaran*) harus memberikan manfaat moral dan material bagi inisiator dan fasilitator. Dalam konteks kepemimpinan, ini adalah antitesis dari ego-sentrisme. Keberhasilan adalah modal sosial bersama, menuntut pengakuan yang adil terhadap kontribusi 'perantara' (staf, mitra). Kegagalan mengakui peran *lantaran* akan memutus rantai *bathi* (keuntungan/pahala) dan berpotensi menimbulkan *tuna* (kerugian moral dan finansial jangka panjang). Prinsip ini menjadi fondasi bagi kolaborasi berkelanjutan dan etika mediasi yang adil.

2. ✨ Darma Sulaksana: Pilar Integritas dan Kesejahteraan Pribadi

Ngibarat: wong nglakoni adil. Darma: bêcik, padhang. Sulaksana: awak luwih yuwana, laku bêcik.

Menegaskan bahwa keadilan (*nglakoni adil*) adalah jalan menuju kebaikan universal (*Darma*) sekaligus investasi langsung pada kesejahteraan fisik dan spiritual diri sendiri (*Sulaksana*). Ini adalah hukum kosmik Jawa yang menghubungkan *mikrokosmos* (diri) dengan *makrokosmos* (lingkungan). Melakukan keadilan bukan sekadar kewajiban sosial, melainkan mekanisme untuk menjaga integritas korporat dan keseimbangan moral, yang pada akhirnya memancarkan aura *yuwana* (kesehatan dan keselamatan) pada pelakunya.

3. 🗣️ Têkèk Mati Ing Ulone: Bumerang Komunikasi dan Manajemen Citra

Ngibarat: wong kang bilai saka calathune dhewe.

Tokek (Têkèk) yang mati karena suaranya sendiri (*Ulone*) adalah metafora kuat tentang konsekuensi fatal dari perkataan yang tidak terkelola. Di era digital, peribahasa ini menjadi relevan dalam konteks manajemen reputasi digital dan *risk communication*. Bahaya *over-communication*, janji yang tidak ditepati, atau ancaman yang boomerang, dapat meruntuhkan karir atau bisnis. Ia mengajarkan *mindfulness* verbal: bahwa kata-kata memiliki daya ledak. Sebelum berbicara atau mempublikasikan, seseorang harus mempertimbangkan efeknya—sebab, nasib diri sendiri bisa ditentukan oleh pita suara sendiri.


II. Batasan Manusia dan Keterbatasan Daya Upaya: Realitas dan Harapan

4. ⛰️ Tunjung Tuwuh Ing Sela: Mengakui Batas-Batas Kemanusiaan

Ngibarat: samubarang kang mokal-mokal, kaya ta: nêrangake udan, ngandhêg lakuning angin, nguripake wong mati sapanunggalane kang ora kêna dilakoni ing manusa.

Teratai (Tunjung), yang secara alami tumbuh di air, mustahil tumbuh di batu (Sela). Ungkapan ini menjadi pengingat tegas tentang manajemen ekspektasi dan batas-batas kendali manusia. Filsafat Jawa mengajarkan realisme spiritual; tidak semua hal dapat diubah atau dikendalikan. Dalam inovasi, ini membedakan antara ambisi yang visioner dan over-promising yang naif. Pemimpin bijak tahu kapan harus berjuang keras, dan kapan harus tunduk pada hukum alam atau takdir.

5. 😴 Turu Dikêbuti: Memaknai Kemakmuran dan Zona Nyaman

Ngibarat: wong kang wis kapenak, ora duwe kasusahan.

Tidur sambil dikipasi—sebuah gambaran kemewahan dan bebasnya dari kesusahan. Peribahasa ini, meski tampak positif, menyimpan peringatan. Kemakmuran tanpa kesadaran adalah pintu menuju stagnasi kemakmuran. Dalam bisnis, ia mewakili bahaya manajemen zona nyaman, di mana kepuasan diri menghalangi inovasi dan kewaspadaan terhadap ancaman luar. Kearifan Jawa menuntut agar kenyamanan (kapenak) harus selalu disertai dengan *eling lan waspada*.


III. Intrik Sosial dan Etika Relasi: Permainan Peran dan Pengkhianatan

6. 🎭 Dudutan lan Anculan: Kedok Ketidakbersalahan dalam Persekongkolan

Ngibarat: wong wêwangsitan utawa kêthikan, kang siji api-api ora wêruh.

Dudutan (tali) dan Anculan (alat penangkap) beroperasi dalam satu kesatuan. Peribahasa ini menggambarkan praktik **persekongkolan etika bisnis** dan *plausible deniability*. Satu pihak beraksi, sementara yang lain berpura-pura tidak tahu (*api-api ora wêruh*), namun secara batin (*ing batin*) mendukung tujuan jahat tersebut. Ini adalah pelajaran kritis mengenai accountability; keterlibatan moral tidak selalu terlihat secara fisik, dan pemimpin harus mewaspadai aliansi tersembunyi yang merugikan.

7. 📢 Tutur Pinajarake: Kekuatan dan Risiko Penyebaran Informasi

Ngibarat: samubarang kăndha kang kinandhakake marang wong liyane.

Setiap perkataan yang disampaikan (*kinandhakake*) kepada orang lain. Peribahasa yang simpel ini menyoroti tanggung jawab media dan etika komunikasi publik. Begitu sebuah informasi (baik benar maupun gosip) dilepaskan, ia menjadi milik publik, dan penyebarannya tidak lagi dapat dikendalikan. Dalam manajemen krisis dan komunikasi korporat, *Tutur Pinajarake* mengingatkan bahwa setiap pesan harus dirancang dengan cermat, karena dampaknya akan bergema dan dapat ditafsirkan ulang oleh penerima.

8. 🗑️ Ditunggakake: Marginalisasi dan Dampaknya pada Organisasi

Ngibarat: wong kang ora dipraduli, ana prakara apa-apa ora ditakoni.

Diperlakukan seperti *tunggul* (sisa pohon, tidak berguna)—tidak diperhatikan dan tidak dimintai pendapat. Dalam organisasi, ini adalah praktik berbahaya yang menciptakan employee disengagement. Ketika perspektif dan pengalaman anggota tim diabaikan (*ora dipraduli*), organisasi kehilangan potensi inovasi dan moralitas tim menurun drastis. Inklusivitas organisasi sejati mensyaratkan setiap 'tunggul' harus diberi kesempatan untuk tumbuh dan berkontribusi.

9. 🐍 Dugung Mirowang: Pengkhianatan Berkedok Kebaikan/Persahabatan

Ngibarat: wong ngrewangi wêkasan dadi mungsuh. Kaya ta: manawa ana wong ngrasani ala marang wong milu ngrasani, wêkasan tutur marang kang dirasani.

Orang yang awalnya membantu (*ngrewangi*) atau berpartisipasi, namun berakhir menjadi musuh (*mungsuh*), seringkali melalui 'adu domba' atau pengaduan. Ini adalah peringatan tajam tentang risiko pengkhianatan dalam aliansi yang rapuh. *Dugung Mirowang* mengajarkan untuk berhati-hati dengan *double-crossing*, terutama di lingkungan yang penuh gosip dan intrik (*milu ngrasani*). Loyalitas yang sejati harus diuji, karena seseorang yang menikmati kejatuhan orang lain seringkali akan melakukan hal yang sama pada Anda.


IV. Refleksi Diri dan Konsekuensi Tindakan: Manajemen Risiko Personal

10. 💥 Tundha Bema: Memperburuk Masalah dengan Ekspektasi Berlebihan

Ngibarat: samubarang kang muwuhi beka, kaya ta: wong ngarah samubarang, dibangêti pangrasane langkah, diarah-arah lirih wêkasan ora têka, sanajan pikir iya mangkono uga. Bema: beka (masalah/bencana).

Peribahasa ini adalah pelajaran tentang *over-confidence* dan kesalahan perhitungan. Ia melambangkan tindakan yang bukannya menyelesaikan masalah, malah menambah *Beka* (bencana/masalah) karena ekspektasi yang terlalu tinggi (*dibangêti pangrasane langkah*) atau strategi yang keliru. Ini relevan dalam manajemen risiko proyek; sering kali, niat baik untuk mencapai target besar justru menyebabkan *scope creep* dan kegagalan total. Kebijaksanaan menuntut analisis realistis, bukan ambisi yang naif.

11. 💪 Dilap Gang (Dialap Gang): Kekuatan, Pemaksaan, dan Pelanggaran Hak

Têgêse: kajupuk paksa, utawa kajupuk wani, wutuhe têmbung: dialap gang. Ambasakake: samubarang kang dijupuk paksa. Gang K.W: rosa (kuat).

Mengambil sesuatu dengan paksa (*kajupuk paksa*), didasari kekuatan (*Gang K.W: rosa*). Peribahasa ini adalah kritik tajam terhadap penyalahgunaan kekuasaan (*power abuse*). Dalam etika bisnis dan politik, *Dilap Gang* mengingatkan bahwa hasil yang diperoleh melalui pemaksaan dan pelanggaran hak tidak akan membawa berkah dan pasti menimbulkan konflik. Kekuatan sejati, menurut filsafat Jawa, bukan terletak pada kemampuan mengambil, tetapi pada kerelaan untuk memberi dan menghormati hak orang lain.

12. 🚧 Dalan Gawat Bêcik Disimpangi: Menjauhi Energi Negatif dan Konflik

Ngibarat: wong makewuh bêbudène, kakehan rêrênggi, prayoga dilumuhi utawa didohi.

Jalan yang sulit (*gawat*) lebih baik dihindari (*disimpangi*). Dalam hubungan sosial, ini merujuk pada orang yang sulit dihadapi (*makewuh bêbudène*) atau terlalu banyak tuntutan (*kakehan rêrênggi*). Peribahasa ini mengajarkan pragmatisme spiritual: untuk menjaga kesehatan mental profesional dan fokus, terkadang cara terbaik adalah dengan menjauhi (didohi) sumber konflik dan energi negatif. Prioritaskan lingkungan yang mendukung pertumbuhan daripada yang menguras energi.

13. ⚓ Dadi Landhêsan: Aktor yang Menjadi Korban Inisiatif Sendiri

Ngibarat: wong gawe wiwitan utawa wêwinih ing prakara, wêkasan kajêdhêgên ing prakara mau.

Menjadi alas (*landhêsan*) atau inisiator (*wêwinih*) suatu masalah, yang pada akhirnya justru membuat diri sendiri terbentur (*kajêdhêgên*) oleh masalah itu. Ini adalah risiko besar menjadi pionir atau inisiator yang menanggung beban. Pelajaran utamanya adalah bahwa inisiatif harus disertai dengan perencanaan mitigasi yang kuat. Seringkali, orang yang memulai perubahanlah yang paling rentan terhadap konsekuensi tak terduga dari perubahan itu.

14. 👹 Durga Ngăngsa-ăngsa: Bahaya Ketamakan dan Ketidakpuasan

Ngibarat: wong kêthaha utawa murka. Durga: pakewuh, kaya ta: mungsuh, buta, macan, banyu gêdhe, gêni gêdhe, sapanunggalane. Mung mutawatiri utawa gawe karusakan.

Ketamakan (*ngăngsa-ăngsa*) yang identik dengan *Durga* (simbol bahaya besar dan kerusakan). Peribahasa ini adalah kritik terhadap ambisi yang buta atau keserakahan (*murka*). Ketamakan bukan hanya merusak orang lain, tetapi juga menciptakan *pakewuh* (kesulitan) yang bisa berwujud musuh, bencana, atau masalah tak terduga. Batasan antara ambisi sehat dan bahaya murka bisnis harus dijaga ketat.

15. 🕰️ Tan-tan Tuman (Tahan-Tahan Tuman): Adaptasi dan Ketahanan Diri

Wutuhe: tahan-tahan tuman. Ambasakake: wong kang tahan marang samubarang marga saka tuman (terbiasa).

Tahan karena sudah terbiasa. Ini adalah inti dari resilience organisasi dan pribadi. Bukan kekuatan bawaan, tetapi kekuatan adaptasi yang ditempa oleh pengulangan dan kebiasaan (*tuman*). Seseorang yang *tahan-tahan tuman* mampu bertahan dalam kondisi sulit karena sudah terbiasa menghadapinya. Pelajaran ini penting dalam budaya kerja: konsistensi menghadapi tantangan kecil akan membangun daya tahan untuk menghadapi krisis besar.

16. 💩 Dibêciki Ambalang Tai: Pengkhianatan Kebaikan dan Rasa Syukur

Ngibarat: wong dibêciki malês ala.

Kebaikan dibalas keburukan. Peribahasa yang gamblang ini adalah ujian terhadap etika niat murni. Ia mengajarkan tentang *tapa ngrame*—berbuat baik tanpa mengharapkan balasan. Bagi pihak yang berbuat baik, ini adalah pelajaran dalam manajemen kekecewaan. Bagi penerima kebaikan, ia mengingatkan pada pentingnya *welas asih* dan rasa terima kasih, karena ingkar janji atau membalas kebaikan dengan keburukan akan merusak tatanan sosial dan spiritualnya sendiri.

17. 📉 Tuna Dungkap: Proyeksi yang Gagal dan Perhitungan yang Melenceng

Ambasakake: wong duwe pangarah ora têka, utawa cipta tuwin pêthèk kang ora pramana. Dungkap: watara kadung.

Kerugian (*Tuna*) yang timbul karena perkiraan atau rencana yang tidak akurat (*ora pramana*). Tuna Dungkap menekankan pentingnya data-driven decision making dan analisis risiko yang cermat. Kegagalan mencapai target (*pangarah ora têka*) seringkali bukan karena kurangnya usaha, tetapi karena kesalahan dalam memprediksi (*cipta tuwin pêthèk*). Peribahasa ini adalah seruan untuk perencanaan yang matang, bukan sekadar optimisme buta.

18. 🧪 Digadhung (Diêndêmi Gadhung): Manipulasi dan Penipuan Terselubung

Ngibarat: wong kang diapus-apusi dibasakake: diêndêmi gadhung.

Diipu atau dimanipulasi seolah-olah diberi racun Gadhung (umbi beracun yang memerlukan pengolahan khusus). Ini adalah simbol penipuan yang halus, sering terjadi di lingkungan yang seharusnya dipercaya (*trust issue*). Peribahasa ini menjadi alarm untuk selalu waspada, bahkan terhadap hal-hal yang tampak baik. Dalam bisnis, ini merujuk pada pentingnya fraud detection dan tidak mudah percaya pada janji manis tanpa verifikasi mendalam.


Kesimpulan: Warisan Abadi dan Jalan Menuju Kebijaksanaan

Delapan belas peribahasa Jawa ini, dari Dagang Tuna Andum Bathi hingga Digadhung, membentuk spektrum penuh etika hidup: mulai dari tanggung jawab kolektif, kejujuran diri, hingga manajemen risiko sosial. Kearifan leluhur ini membuktikan bahwa tantangan moral yang kita hadapi saat ini—mulai dari *fraud*, manipulasi digital, hingga kepemimpinan yang gagal—telah diantisipasi ribuan tahun lalu. Menerapkan filosofi ini bukan sekadar melestarikan budaya, tetapi membangun fondasi moral yang kokoh bagi masa depan yang lebih berintegritas dan berkelanjutan. Jelajahi lebih dalam kearifan Jawa untuk mendapatkan wawasan kepemimpinan transformasional yang sesungguhnya.

🔗 Melangkah Lebih Jauh: Mengintegrasikan 18 Peribahasa ke dalam Filsafat Sangkan Paraning Dumadi Baca: 50 Filsafat Hidup Jawa dan Makna

Sumber: Analisis Kultural dan Filsafat Jawa (Berdasarkan Kerangka Paribasan Tradisional).