Makna Filosofis Ayat Kulhu dalam Pandangan Filsafat Jawa
Makna Filosofis Ayat Kulhu dalam Pandangan Filsafat Jawa
Oleh: Jangkung Sugiyanto – Pemerhati Budaya dan Penulis Filsafat Jawa
Dalam kehidupan masyarakat Jawa, makna “Ayat Kulhu” (Surah Al-Ikhlas) sering dihayati bukan hanya sebagai bacaan keagamaan, tetapi juga simbol kesadaran tentang hakikat hidup. Dalam pandangan filsafat Jawa, ayat ini mencerminkan kesatuan antara manusia dengan sumber kehidupan sejati — suatu keselarasan antara cipta, rasa, dan karsa.
1. Kulhu Sebagai Cermin Keesaan dan Sangkan Paraning Dumadi
Konsep sangkan paraning dumadi — asal dan tujuan kehidupan — menjadi dasar pemikiran Jawa. Ayat pertama, “Qul huwallahu ahad”, menegaskan bahwa manusia berasal dan akan kembali pada Yang Maha Esa. Hal ini sejalan dengan pepatah Jawa: “Saka ngendi asalmu, marang kana ugi balimu” — dari mana engkau berasal, ke sana pula engkau kembali.
Filsafat ini menuntun manusia untuk selalu eling lan waspada (ingat dan sadar) terhadap asal kehidupan. Dalam tafsir budaya Jawa, keesaan itu dipahami sebagai kesadaran batin: bahwa segala sesuatu adalah bagian dari keteraturan ilahi.
2. As-Samad: Sumber Kesempurnaan dan Keteguhan Batin
Ayat “Allahu shamad” mengandung makna bahwa Tuhan adalah tempat bergantung segala sesuatu. Dalam ajaran roso Jawa, manusia diajari untuk tidak bergantung pada dunia, melainkan bersandar pada kesadaran batin yang memancar dari Sang Sumber.
Orang Jawa berkata, “Urip mung mampir ngombe” — hidup hanyalah persinggahan. Maka, segala ikhtiar dilakukan dengan tulus tanpa pamrih, karena kesadaran sejati memahami bahwa setiap hasil adalah kehendak semesta.
3. Tanpa Awal Tanpa Akhir: Simbol Kesempurnaan Sejati
Ayat “Lam yalid walam yulad” dalam filsafat Jawa dimaknai sebagai wujud kesempurnaan yang tidak memiliki awal maupun akhir. Ini dikenal dengan konsep sangkan tanpa wiwit, paran tanpa wates. Artinya, segala kehidupan hanyalah pancaran dari sumber sejati, bukan pengganti-Nya.
Oleh karena itu, manusia diingatkan agar tidak terjebak dalam ego. Kesombongan adalah dinding yang menutupi cahaya kebijaksanaan. Dalam pepatah Jawa: “Gusti ora sare” — kesadaran sejati tidak pernah hilang, selalu hadir di setiap denyut kehidupan.
4. Tanpa Tandingan: Rasa Sejati Tanpa Banding
“Walam yakun lahu kufuwan ahad” berarti tiada sesuatu pun yang sebanding dengan Tuhan. Dalam budaya Jawa disebut “Tan ana tandhingané” — tidak ada yang dapat menandingi keagungan Sang Sumber.
Nilai ini melahirkan etika hidup rendah hati, andhap asor, dan welas asih. Filsafat Kulhu menuntun manusia untuk meneladani sifat kasih, bukan kekuasaan, sebab sejatinya kesempurnaan hidup ada pada keseimbangan batin.
5. Kulhu Sebagai Jalan Menuju Kesadaran Diri
Dalam tradisi Jawa, pencarian kesempurnaan diri disebut nggayuh roso sejati. Ketika seseorang membaca “Qul huwallahu ahad” dengan penuh kesadaran, ia sesungguhnya sedang mengingatkan dirinya sendiri: bahwa sejatinya hidup ini berpulang pada satu sumber.
Kesadaran ini tidak berarti manusia menjadi Tuhan, melainkan menyadari bahwa dirinya hanyalah bagian kecil dari tatanan semesta yang sempurna.
6. Kulhu Sebagai Laku Spiritual dan Etika Sosial
Ajaran Kulhu dalam filsafat Jawa tidak berhenti pada laku batin, tetapi menjelma menjadi etika sosial. Orang yang memahami “roso sejati” akan hidup dengan empati, keadilan, dan tanggung jawab sosial.
Pepatah Jawa mengatakan: “Urip iku urup” — hidup harus memberi cahaya. Inilah bentuk nyata spiritualitas dalam budaya Jawa: menjadikan kesadaran batin sebagai sumber kemanusiaan.
Kesimpulan
Filsafat Jawa dan makna Ayat Kulhu berpadu dalam satu ajaran universal: keesaan dan keseimbangan. Keduanya mengajarkan manusia untuk mengenali asal dan tujuan hidup, mengolah rasa, dan menjaga keselarasan antara batin dan tindakan.
“Siapa yang memahami makna Kulhu, akan mengenal dirinya sendiri.” — Ungkapan Dalang Tua Jawa
Dalam era modern, ajaran ini tetap relevan sebagai pengingat bahwa kemajuan sejati lahir dari batin yang damai dan jiwa yang sadar.
