Lebih dari Sekadar Peribahasa: Mengungkap Makna Tersembunyi dari 'Satru Munggèng Cangklakan' dan Lima Kearifan Jawa Kuno

Lebih dari Sekadar Peribahasa: Mengungkap Makna Tersembunyi dari 'Satru Munggèng Cangklakan' dan Lima Kearifan Jawa Kuno

Table of Contents

Lebih dari Sekadar Peribahasa: Mengungkap Makna Tersembunyi dari 'Satru Munggèng Cangklakan' dan Lima Kearifan Jawa Kuno


Pendahuluan: Membaca Jiwa Jawa Lewat Tiga Kata

Bahasa Jawa kaya akan filosofi hidup yang terangkum dalam peribahasa. Orang Jawa membaginya menjadi tiga kategori utama: Paribasan, Bebasan (Babasan), dan Saloka. Jika Paribasan umumnya berisi kalimat lugas, maka Babasan dan Saloka lebih dalam, menggunakan metafora yang mengacu pada keadaan atau sifat manusia.

Ilustrasi pria Jawa tersenyum sambil menyembunyikan keris di balik baju, menggambarkan Satru Munggèng Cangklakan atau musuh dalam selimut, Satru munggwing cangklakan bahasa jawa

Teks kuno warisan leluhur menyimpan petunjuk berharga tentang cara pandang mereka terhadap konflik, kesembronoan, hingga keburukan tersembunyi. Dalam artikel ini, kita akan menyelami lima entri dari naskah klasik (Nomor 224 hingga 228) yang membahas tentang watak musuh dan kesempronoan, sejalan dengan pembahasan mendalam mengenai telaah kosmis Jawa.

Salah satu entri pembuka yang perlu digarisbawahi adalah gambaran tentang:
"Ngibarat: wong kang wis kacêtha parawadulan." (Kiasan: Orang yang sudah jelas menjadi sasaran tuduhan/pengaduan.)


Isi Utama: Lima Musuh, Satu Kesempronoan

1. Nomor 224: Satru Manêngah (Musuh yang Tersembunyi)

Teks Asli Iku samubarang kang aran saru, kaya ta: wong loro utawa têlu anduwèni pangarah marang barang sawiji.
Terjemahan & Analisis Modern Ini adalah ungkapan untuk menggambarkan konflik kepentingan yang tersembunyi (tidak pantas/saru), di mana dua atau tiga pihak (atau lebih) memiliki tujuan tersembunyi terhadap satu hal yang sama.

Relevansi Kontemporer: Dalam dunia bisnis atau politik, ini sering terjadi. Semua pihak terlihat duduk bersama dan tersenyum, tetapi di balik itu, mereka semua mengincar satu proyek atau posisi jabatan yang sama. Kondisi ini menciptakan suasana tegang dan penuh intrik.

2. Nomor 225: Satru Munggèng Cangklakan (Musuh dalam Selimut)

Teks Asli Ngibarat: sadulur utawa sanak kang mursal, isih nunggal, anduwèni pangarêp-arêp ala.
Terjemahan & Analisis Modern Kiasan untuk saudara atau kerabat yang durhaka (mursal), yang masih satu ikatan/keluarga, tetapi menyimpan harapan-harapan buruk (pangarêp-arêp ala) terhadap kita.

Metafora Kuat: Munggèng cangklakan berarti 'terletak di ketiak' atau 'digendong'. Apa yang kita gendong adalah sesuatu yang kita rasa aman dan dekat. Saloka ini mengajarkan bahwa bahaya terbesar justru berasal dari orang yang paling dekat dan paling kita percaya. Ini adalah musuh dalam selimut yang sesungguhnya—ia berbagi ruang, namun merencanakan kejatuhan.

3. & 4. Nomor 226 & 227: Sasa Ulun dan Soso Ulon (Bicara Keras yang Keliru)

Dua entri ini membahas tentang gaya berbicara yang keras dan menekan:

  • Sasa/Sahasa Ulon (No. 226): Menggambarkan orang yang memaksa berbicara (pêksa calathu) atau yang bicaranya sangat keras (keras calathune). Ini mengkritik orang yang menggunakan kekuatan kata-kata (*sahasa*, yang berarti kuat/keras) untuk mendominasi.
  • Soso Ulon (No. 227): Menggambarkan orang yang berbicara 'ngoso-oso' (berbicara dengan nada mendesak, memaksa, dan ingin menang sendiri).

Pelajaran: Kedua istilah ini mengingatkan kita untuk menghindari cara bicara yang agresif dan dominan, yang hanya akan menciptakan ketidaknyamanan, bukan pengertian. Ini selaras dengan banyak filsafat hidup Jawa tentang keselarasan lisan.

sembrono bahasa jawa filsafat

5. Nomor 228: Slekam-slekom (Kesembronoan Berujung Masalah)

Teks Asli Ngibarat: wong kang slodha-slodho, kaya ta: mènèhake dudu duwèke, utawa nganggo kang dudu duwèke kang tanpa têmbung.
Terjemahan & Analisis Modern Kiasan untuk orang yang sembrono atau ceroboh (slodha-slodho). Contohnya adalah menyerahkan sesuatu yang bukan miliknya, atau memakai barang orang lain tanpa izin.

Aplikasi Kontemporer: Dalam konteks modern, Slekam-slekom bisa berarti sembrono dalam mengelola data, memberi akses ilegal, atau menggunakan properti intelektual orang lain tanpa pemberitahuan. Intinya adalah tindakan serampangan yang melanggar batas kepemilikan dan etika.


Analisis Bahasa: Memahami Kata-kata Kunci

Untuk mendapatkan pemahaman yang utuh, beberapa istilah Jawa Kuno perlu diterjemahkan:

Istilah Jawa Kuno Makna Bahasa Indonesia Konteks dalam Babasan
Parawadulan Orang yang menjadi sasaran aduan/tuduhan. Orang yang sudah terkenal buruk perilakunya, sehingga mudah dituduh.
Mursal Durhaka, jahat, pengkhianat. Menegaskan bahwa 'musuh dalam selimut' (Satru Munggèng Cangklakan) adalah orang yang paling tidak setia.
Slodha-slodho Ceroboh, sembrono, tidak teliti. Merupakan akar masalah dari Slekam-slekom, yaitu ketidakpedulian terhadap batas hak milik.
Sahasa Keras, kuat, sangat. Menjelaskan mengapa Sasa ulun keliru, karena kiasannya mengacu pada kekuatan bicara yang menekan.

Penutup: Warisan yang Harus Dilestarikan

Babasan dan Saloka ini, yang berasal dari masa lampau, memberikan deskripsi psikologis yang sangat tajam tentang berbagai karakter manusia: dari musuh yang bersembunyi di lingkaran terdekat, hingga orang yang merusak suasana dengan cara bicara yang memaksa, dan mereka yang sembrono dalam bertindak.

Mereka mengajarkan kita untuk selalu waspada terhadap niat terselubung dan mengendalikan diri dari kesembronoan. Melalui Bebasan ini, kita tidak hanya belajar bahasa, tetapi juga memahami kebijaksanaan leluhur dalam menghadapi kerumitan hubungan antarmanusia. Mari kita teruskan warisan ini.

Sumber Referensi:

Teks Jawi Kuno Babasan dan Saloka di atas diambil dari Babasan lan Saloka, Anonim, terbitan 1908, entri Nomor 224 hingga 228.