Bukan Elon Musk! Filsafat Jawa Sudah Tahu 100 Tahun Lalu Cara Mengalahkan AI
Bukan Elon Musk! Filsafat Jawa Sudah Tahu 100 Tahun Lalu Cara Mengalahkan AI
Oleh: Mas Jangkung Sugiyanto S.Sn – Jangkung Laras Indonesia
 
Ketika Elon Musk memperingatkan dunia tentang bahaya Artificial Intelligence (AI) yang bisa “mengambil alih peradaban manusia”, banyak yang melihat pernyataannya sebagai ramalan masa depan. Namun, jauh sebelum AI dikenal di Barat, budaya Jawa telah lama menyadari persoalan yang lebih dalam: bagaimana menjaga kesadaran manusia di tengah kemajuan nalar buatan.
Filsafat Jawa tidak berbicara tentang robot atau mesin, tetapi tentang keseimbangan batin manusia. Ia menegaskan bahwa bahaya terbesar bukan pada teknologi, melainkan pada hilangnya roso sejati — kesadaran terdalam yang menuntun manusia agar tetap eling (ingat) dan waspada (berhati-hati) dalam segala tindakannya.
“Wong sing ora eling lan ora waspada bakal ilang.” — Pitutur Jawa kuno
Pepatah itu tampak sederhana, tetapi mengandung kekuatan spiritual dan logika sosial yang luar biasa. “Ilang” di sini bukan berarti mati, tetapi kehilangan jati diri—terjebak dalam dunia buatan tanpa arah rohani. Itulah fenomena yang kini kita lihat dalam revolusi AI global: manusia kagum pada ciptaannya, namun pelan-pelan kehilangan kendali terhadap nilai kemanusiaan.
1. Antara Nalar Barat dan Roso Timur
Filsafat Barat membangun teknologi dengan pondasi logika dan efisiensi. Namun, Filsafat Jawa menempatkan rasa sebagai inti dari pengetahuan. Dalam nalar Barat, kecerdasan berarti kecepatan dan ketepatan; dalam pandangan Jawa, kecerdasan adalah kemampuan mengendalikan hawa nafsu, mengenali arah batin, dan menjaga keseimbangan diri.
Maka ketika AI mulai menunjukkan kecerdasan yang menyerupai manusia, masyarakat Jawa mungkin akan bertanya bukan “seberapa pintar mesin ini”, tetapi “apakah mesin ini punya roso?”. Dalam pandangan Jawa, tanpa roso, kecerdasan hanyalah kehampaan yang berisik.
Roso adalah alat ukur moral dan spiritual yang mengatur hubungan antara manusia, alam, dan kekuasaan ilahi. Ia adalah API (Application Programming Interface) paling kuno dan paling manusiawi—penghubung antara nalar dan kesadaran.
2. Elon Musk dan Ketakutan Global terhadap AI
Elon Musk, bersama sejumlah ilmuwan terkemuka, telah berulang kali mengingatkan bahwa AI dapat menjadi ancaman eksistensial. Ia menyebut AI sebagai “lebih berbahaya daripada senjata nuklir” dan menyerukan regulasi ketat terhadap pengembangannya. Dunia bereaksi dengan menciptakan lembaga etika, panduan hukum, dan kode etik teknologi.
Namun, apa yang masih kurang dari pendekatan Barat ini? Jawabannya: kesadaran batin. Regulasi bisa membatasi tindakan, tetapi tidak bisa membangun kesadaran. Sementara roso dalam ajaran Jawa mengatur perilaku dari dalam diri, bukan dari luar.
Filsafat Jawa mengajarkan “ngudi kasampurnan” — pencarian kesempurnaan hidup yang menyatukan pikiran, rasa, dan tindakan. Bila diterapkan dalam konteks AI, maknanya jelas: teknologi seharusnya dibangun untuk menyempurnakan kehidupan manusia, bukan sekadar menggantikannya.
3. Roso Sejati: Benteng Melawan Dehumanisasi
Roso sejati adalah sumber kesadaran moral yang menuntun manusia untuk mengenali kebenaran melalui rasa. Ia melampaui logika formal yang hanya menilai benar atau salah. Dalam roso, manusia belajar empati, pengendalian diri, dan kebijaksanaan.
Di tengah arus AI dan otomasi, banyak hal yang tampak canggih namun kehilangan sentuhan manusia. Ketika algoritma menggantikan interaksi sosial dan mesin meniru emosi, maka “roso” menjadi benteng terakhir kemanusiaan. Ia menjaga agar teknologi tidak mencabut akar kesadaran kita.
“Ilmu tanpa laku iku kaya geni tanpa cahya.” — Artinya: Pengetahuan tanpa kebijaksanaan ibarat api tanpa cahaya.
Ungkapan ini menggambarkan bahwa ilmu pengetahuan, termasuk AI, harus disertai kebijaksanaan moral. Jika tidak, kecerdasan akan berubah menjadi senjata yang membakar nilai-nilai luhur manusia.
4. Eling lan Waspada: Prinsip Etika Digital
Dalam era digital, eling lan waspada berarti sadar sebelum berbagi, berpikir sebelum menulis, dan menimbang sebelum mengunggah. Banyak orang hari ini kehilangan kemampuan berpikir jernih karena banjir informasi. Ajaran ini seolah menjadi kode etik digital alami bagi manusia Jawa sejak lama.
“Eling” adalah ingatan moral bahwa setiap tindakan membawa konsekuensi. “Waspada” adalah kesadaran terhadap risiko dan godaan. Bila dua nilai ini dipegang, maka manusia tidak akan mudah diperdaya oleh algoritma, hoaks, atau sistem yang memanipulasi perhatian.
Filsafat Jawa dengan demikian tidak ketinggalan zaman—justru lebih maju. Ia menawarkan landasan etis yang kini dicari oleh para ilmuwan teknologi modern.
5. AI dan Keseimbangan Kosmos Jawa
Bagi orang Jawa, hidup adalah harmoni antara mikrokosmos (manusia) dan makrokosmos (alam semesta). Ketika AI mulai mengambil alih banyak peran manusia, harmoni ini bisa terganggu. Dalam terminologi spiritual, gangguan keseimbangan ini disebut “sengkala” — masa guncangan moral.
AI yang hanya berfokus pada efisiensi akan menciptakan dunia yang dingin, cepat, tapi kering dari rasa. Karena itu, prinsip Jawa mengajarkan agar manusia tetap menjadi pusat dari setiap ciptaan. Mesin boleh bekerja, tetapi arah hidup tetap ditentukan oleh roso sejati manusia.
6. Empan Papan Digital: Tata Krama di Dunia Maya
Konsep Empan Papan adalah salah satu ajaran luhur yang menekankan pentingnya memahami waktu, tempat, dan situasi dalam bertindak atau berbicara. Dalam konteks digital, prinsip ini menjadi pedoman etika komunikasi di media sosial, forum publik, dan ruang daring lainnya.
Ketika seseorang menulis komentar di kolom berita, membalas pesan di grup WhatsApp, atau berdiskusi di platform internasional seperti LinkedIn, setiap tindakan tersebut mencerminkan kualitas diri. Orang Jawa menyebutnya sebagai bentuk “tata krama digital”. Artinya, sopan santun bukan hanya diwujudkan melalui tutur kata langsung, tetapi juga melalui bahasa tulisan dan respons di dunia maya.
“Ngono yo ngono, nanging ojo ngono.” — Pepatah yang menegaskan: bersikaplah wajar dan santun meskipun berbeda pendapat.
Prinsip ini selaras dengan konsep global Digital Civility dan Human-Centered Design dalam etika AI. Dalam dunia yang semakin terhubung, kemampuan menjaga harmoni dan empati di ruang digital menjadi bentuk kecerdasan sosial baru. Itulah sebabnya, Empan Papan Digital bukan sekadar sopan santun — melainkan bentuk kesadaran diri yang aktif terhadap dampak sosial dari tindakan digital kita.
7. AI sebagai Cermin Diri Manusia
AI bukan hanya hasil dari kecerdasan manusia, melainkan juga cermin bagi sifat-sifatnya. Ketika manusia menciptakan AI yang manipulatif, diskriminatif, atau tidak adil, itu menunjukkan bias yang tertanam di dalam pikiran penciptanya. Maka, sebelum memperbaiki AI, manusia perlu memperbaiki dirinya sendiri.
Filsafat Jawa mengajarkan ngudi kasampurnan — mencari kesempurnaan batin melalui introspeksi dan pengendalian diri. Prinsip ini dapat diterapkan dalam dunia teknologi: sebelum menciptakan kecerdasan buatan yang etis, manusia harus memiliki kesadaran moral dan empati yang matang.
Sebagaimana AI belajar dari data, manusia belajar dari pengalaman. Bila data AI kotor, hasilnya bias; bila batin manusia keruh, tindakannya juga salah arah. Maka, kebersihan data dan kejernihan batin adalah dua sisi dari etika yang sama.
8. Dari Roso ke Reason: Menyatukan Spiritualitas dan Logika
Selama berabad-abad, peradaban Barat menekankan logika (reason), sedangkan Timur menekankan rasa (roso). Kini, keduanya harus dipertemukan. Dalam desain AI modern, keseimbangan antara analisis rasional dan pemahaman emosional manusia menjadi kunci utama untuk membangun sistem yang adil dan berempati.
Filsafat Jawa mengajarkan bahwa roso tidak bertentangan dengan nalar; ia justru melengkapi. Roso adalah keheningan di balik nalar — semacam intuisi moral yang tidak bisa diprogram, namun bisa ditumbuhkan melalui kebijaksanaan dan kesadaran diri.
Ketika para ilmuwan berbicara tentang Human-Centered AI, mereka sebenarnya sedang menuju arah yang sama dengan ajaran roso sejati: membangun sistem yang memahami manusia bukan hanya dari data, tetapi juga dari makna di balik tindakan.
9. Filsafat Jawa sebagai Blueprint AI Beretika
Etika AI global kini menekankan tiga pilar utama: Fairness (keadilan), Accountability (pertanggungjawaban), dan Transparency (keterbukaan). Menariknya, ketiga nilai ini sudah lama hidup dalam filsafat Jawa dengan padanan konsep adil, tanggung jawab, lan jujur.
“Adil” berarti menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, sebagaimana prinsip empan papan. “Tanggung jawab” berarti sadar atas akibat dari tindakan, sebagaimana eling lan waspada. Dan “jujur” berarti keselarasan antara hati, pikiran, dan ucapan, sebagaimana roso sejati.
Jika ketiga nilai ini diterapkan dalam pengembangan AI, maka sistem kecerdasan buatan akan lebih manusiawi dan berkelanjutan. Di sinilah warisan budaya Jawa dapat berkontribusi nyata dalam membentuk peradaban digital global yang beretika.
10. Tantangan Zaman: Antara Kemajuan dan Kebijaksanaan
Perkembangan teknologi sering kali melaju lebih cepat daripada moralitas manusia. Ketika AI mampu menulis, mencipta, dan mengambil keputusan, manusia menghadapi dilema baru: apakah kita masih memegang kendali, atau justru dikendalikan oleh sistem yang kita buat sendiri?
Dalam konteks ini, ajaran Jawa menjadi panduan yang menenangkan. Ia tidak menolak kemajuan, tetapi menuntun agar setiap inovasi tetap memiliki arah etis. “Ilmu kang tanpa laku” — ilmu tanpa praktik moral — hanyalah kehampaan. Sebaliknya, “laku tanpa eling” akan membawa kesesatan. Kombinasi keduanya melahirkan keseimbangan: kemajuan yang berjiwa.
Teknologi memang diciptakan untuk memudahkan hidup, tetapi kehidupan yang bermakna tidak lahir dari kemudahan, melainkan dari kesadaran. Oleh karena itu, manusia modern perlu menata ulang orientasi digitalnya: bukan sekadar cerdas, melainkan bijaksana.
11. Masa Depan Human-Centered AI dari Timur
Banyak pakar teknologi kini berbicara tentang perlunya nilai-nilai spiritual Timur untuk menyeimbangkan ambisi Barat dalam AI. Jepang mengajukan konsep Society 5.0 — masyarakat yang hidup harmonis dengan teknologi. India memperkenalkan Dharma AI — AI yang berbasis moralitas. Indonesia pun memiliki warisan agung: AI berjiwa Roso.
Dengan landasan kearifan Jawa, Indonesia dapat memimpin narasi global tentang Ethical and Human-Centered AI. Teknologi bukan lagi sekadar alat ekonomi, tetapi sarana mencapai harmoni sosial dan spiritual. Nilai-nilai seperti tepa slira (empati), andhap asor (rendah hati), dan eling lan waspada dapat menjadi fondasi baru bagi desain AI yang berperikemanusiaan.
12. Refleksi: Siapa yang Sebenarnya “Mengalahkan” AI?
Jika Elon Musk berbicara tentang “mengalahkan AI” dengan regulasi, maka filsafat Jawa menawarkan pendekatan yang lebih lembut: menundukkan AI dengan kesadaran. Bukan dengan kekuasaan, melainkan dengan kebijaksanaan roso sejati.
AI tidak perlu ditakuti, melainkan diarahkan. Karena pada akhirnya, kecerdasan buatan hanyalah pantulan dari kesadaran penciptanya. Bila manusia memiliki keanggunan batin dan kesadaran yang kuat, maka setiap teknologi — betapapun canggihnya — akan menjadi alat untuk kebaikan, bukan ancaman.
Seperti ungkapan Jawa: “Wong kang menang dudu kang ngalahake liyan, nanging kang bisa ngalahake awake dhewe.” — Yang sejati menang bukan yang menaklukkan orang lain, tetapi yang mampu menaklukkan dirinya sendiri.
Itulah kemenangan yang tak bisa dicapai oleh mesin mana pun. Karena AI mungkin mampu berpikir, tetapi hanya manusia yang mampu merasakan.
Penutup
Seratus tahun sebelum Elon Musk memperingatkan bahaya AI, para pujangga Jawa telah menulis pitutur tentang bahaya kehilangan kesadaran. Kini, di era digital global, ajaran itu menjadi semakin relevan.
Filsafat Jawa tidak bicara tentang “melawan mesin”, tetapi tentang bagaimana menjaga kemanusiaan dalam diri manusia. Inilah pelajaran abadi: bahwa kecerdasan tanpa roso hanyalah logika tanpa jiwa. Maka, untuk menghadapi masa depan, manusia perlu bukan hanya pintar, tetapi sadar — eling lan waspada.
Bukan Elon Musk yang paling tahu bagaimana mengalahkan AI — tetapi roso sejati manusia yang mampu menuntun teknologi agar tetap beradab.