Jebakan "Rumangsa Bisa": Membongkar 5 Pelajaran Penting Filosofi “Bisa Rumangsa” untuk Hidup Rendah Hati

Jebakan "Rumangsa Bisa": Membongkar 5 Pelajaran Penting Filosofi “Bisa Rumangsa” untuk Hidup Rendah Hati

Daftar Isi

Jebakan "Rumangsa Bisa": Membongkar 5 Pelajaran Penting Filosofi “Bisa Rumangsa” untuk Hidup Rendah Hati

orang tua kepada generasi muda

Pernahkah Anda bertemu seseorang yang begitu pintar, namun perilakunya justru membuat orang lain menjauh? Atau, pernahkah Anda sendiri merasa paling mampu, namun belakangan menyadari bahwa sikap itu justru menghambat kemajuan Anda? Inilah inti dari kontradiksi dalam filosofi Jawa yang sering disalahpahami: “Rumangsa Bisa” dan “Bisa Rumangsa.”

Sekilas, dua tembung (kata) ini tampak serupa. Hanya posisi katanya yang bertukar, namun maknanya sejauh langit dan bumi. Di sinilah letak keunikan kearifan lokal kita — sederhana dalam bentuk, namun mengandung nilai etika hidup yang mendalam. Yang pertama adalah peringatan, sedangkan yang kedua adalah kunci menuju kebijaksanaan sejati.

Perbedaan Fundamental: Antara Kepintaran dan Kepekaan Batin

Sebelum masuk ke lima pelajaran penting, kita pahami dulu makna dasarnya.

“Rumangsa Bisa” (Merasa Bisa) adalah sifat seseorang yang terlalu percaya diri pada kemampuannya. Ia merasa paling tahu, paling mampu, dan sulit menerima masukan. Ini adalah ekspresi dari ego yang berlebihan, mengabaikan nilai andhap asor (kerendahan hati), dan sering menjerumuskan pada kesombongan — adigang, adigung, adiguna.

Sebaliknya, “Bisa Rumangsa” (Bisa Merasa) berarti kemampuan untuk peka. Ia mencerminkan kebijaksanaan sejati — peka terhadap situasi, terhadap perasaan orang lain, dan mampu memahami makna di balik setiap peristiwa. Inilah perwujudan dari kecerdasan emosional dan spiritual yang sesungguhnya.

Orang yang “Rumangsa Bisa” biasanya memang cakap secara teknis, tetapi karena merasa hebat, ia sering lupa menghargai orang lain. Kerja sama menjadi kaku, suasana menjadi tidak nyaman. Filosofi Jawa menilai bahwa orang seperti ini belum bijaksana karena masih dikuasai nafsu ingin diakui.

1. Kesadaran Nrimo ing Pandum (Menerima Porsi)

Orang yang bisa rumangsa sadar bahwa kemampuannya hanyalah titipan. Kesadaran ini menumbuhkan sikap Nrimo ing Pandum, yaitu menerima kenyataan dengan lapang dada.

Ketika kita dicela, kita tidak perlu tersinggung, karena kritik bisa menjadi cermin untuk belajar. Kita tahu batas kemampuan kita, dan selalu ada ruang untuk tumbuh.

Kepintaran tanpa kesadaran adalah kesombongan. Sedangkan kesadaran adalah bekal menuju keikhlasan.

2. Kepekaan Sosial dan Empati (Tepa Selira)

Aspek terkuat dari Bisa Rumangsa adalah empati. Orang yang memiliki tepa selira bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain. Dalam pekerjaan dan kehidupan sosial, pemimpin yang memiliki sifat ini akan lebih dihormati dan dicintai.

Ia tahu kapan harus bicara, kapan harus diam, bagaimana menegur tanpa melukai, dan bagaimana memuji dengan tulus. Inilah kualitas yang membuat Bisa Rumangsa lebih berharga daripada sekadar kecerdasan intelektual atau kekayaan materi.

Pepatah Jawa:
“Wong pinter kalah karo wong becik, wong becik kalah karo wong sabar.”
Orang pandai akan kalah oleh orang baik, dan orang baik akan kalah oleh orang sabar.

3. Melawan Jebakan Sempurna di Era Digital

Di era media sosial, kita sering terjebak dalam pola Rumangsa Bisa — ingin selalu terlihat unggul, selalu benar, selalu didengar. Filosofi ini mengingatkan agar kita berhenti membandingkan diri dan mulai berintrospeksi.

Terlalu fokus pada citra luar membuat kita kehilangan kedamaian batin. Orang bijak tidak perlu mengumumkan kepandaiannya; tindakannya sudah cukup berbicara. Inilah kunci kesehatan mental yang seimbang di tengah hiruk pikuk zaman digital.

4. Menjunjung Andhap Asor (Kerendahan Hati)

Konsekuensi dari Bisa Rumangsa adalah lahirnya andhap asor — kerendahan hati. Layaknya padi, semakin berisi semakin merunduk.

Dalam karier atau bisnis, rendah hati berarti mau belajar, berani mengakui kesalahan, dan menghargai pendapat siapa pun. Lingkungan seperti ini melahirkan kolaborasi, bukan kompetisi yang saling menjatuhkan.

Tanpa andhap asor, kepintaran justru menjadi bumerang yang melukai diri sendiri.

5. Tujuan Akhir: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku

Pelajaran terakhir menegaskan bahwa ilmu sejati hanya bermakna jika diwujudkan dalam laku (tindakan). Pepatah Jawa berkata, “Ngelmu iku kelakone kanthi laku.”

Artinya, pengetahuan tidak cukup hanya dipahami, tetapi harus diamalkan dalam kehidupan. Orang yang Bisa Rumangsa menunjukkan ilmunya melalui sikap: sabar, rendah hati, dan menghargai sesama.

Kebijaksanaan sejati bukan diukur dari gelar atau jabatan, tetapi dari kemampuan menahan diri dan menjaga martabat orang lain.

Penutup: Menuju Kehidupan yang Lebih Berkeadaban

“Rumangsa Bisa” dan “Bisa Rumangsa” bukan sekadar permainan kata. Yang pertama adalah cermin kesombongan yang memperingatkan, sedangkan yang kedua adalah peta menuju kerendahan hati.

Dalam masyarakat modern yang penuh persaingan, nilai Bisa Rumangsa sangat dibutuhkan — bukan hanya untuk keharmonisan sosial, tetapi juga untuk ketenangan batin.

Jika setiap individu mampu menanamkan nilai ini, bangsa kita akan menjadi lebih damai, suportif, dan berkeadaban. Itulah hakikat sejati dari filosofi Jawa: membentuk manusia yang sadar diri, peka rasa, dan berguna bagi sesama.

Ditulis oleh Jangkung Sugiyanto — Refleksi Kebijaksanaan Jawa untuk Hidup Sehat Mental