Jebakan "Rumangsa Bisa": Membongkar 5 Pelajaran Penting Filosofi “Bisa Rumangsa” untuk Hidup Rendah Hati

Jebakan "Rumangsa Bisa": Membongkar 5 Pelajaran Penting Filosofi “Bisa Rumangsa” untuk Hidup Rendah Hati

Table of Contents
Jebakan "Rumangsa Bisa": Membongkar 5 Pelajaran Penting Filosofi “Bisa Rumangsa” untuk Hidup Rendah Hati

Jebakan "Rumangsa Bisa": Membongkar 5 Pelajaran Penting Filosofi “Bisa Rumangsa” untuk Hidup Rendah Hati

Pernahkah Anda bertemu seseorang yang begitu pintar, namun perilakunya justru membuat orang lain menjauh? Atau, pernahkah Anda sendiri merasa paling mampu, namun belakangan menyadari bahwa sikap itu justru menghambat kemajuan Anda? Inilah inti dari kontradiksi dalam **filosofi Jawa** yang sering disalahpahami: **"Rumangsa Bisa"** dan **"Bisa Rumangsa."**

Sekilas, dua tembung (kata) ini tampak serupa. Hanya posisi katanya yang bertukar, namun maknanya sungguh sejauh langit dan bumi. Di sinilah letak keunikan kearifan lokal kita: sederhana dalam bentuk, namun mengandung nilai etika hidup yang mendalam. Mari kita bongkar mengapa yang pertama adalah peringatan, dan yang kedua adalah kunci menuju **kebijaksanaan sejati**.

Ilustrasi dua orang sedang berdialog melambangkan Bisa Rumangsa dan Rumangsa Bisa

🧠 Perbedaan Fundamental: Antara Kepintaran dan Kepekaan Batin

Sebelum masuk ke lima pelajaran penting, kita harus pahami dulu definisi dasarnya:

  • “Rumangsa Bisa” (Merasa Bisa): Adalah sifat seseorang yang **terlalu percaya diri** pada kemampuannya. Ia merasa paling tahu, paling mampu, dan sulit menerima masukan. Ini adalah ekspresi dari **ego** yang berlebihan, mengabaikan nilai **andhap asor** (kerendahan hati) dan cenderung menjerumuskan pada kesombongan (**Adigang, Adigung, Adiguna**).
  • “Bisa Rumangsa” (Bisa Merasa): Bermakna **“Bisa Peka”** atau **“Bisa Merasakan.”** Sifat ini mencerminkan kebijaksanaan sejati, yaitu peka terhadap situasi, perasaan orang lain (empati), dan memahami makna di balik setiap peristiwa. Ini adalah perwujudan dari kecerdasan emosional dan spiritual.

Orang yang **“Rumangsa Bisa”** biasanya memang cakap secara teknis, tetapi karena merasa hebat, ia sering lupa menghargai orang lain, membuat kerja sama menjadi kaku, dan suasana kerja tidak nyaman. Filosofi Jawa menilai bahwa orang yang merasa bisa justru belum mencapai kebijaksanaan sejati karena masih dikuasai nafsu ingin diakui.


🌟 5 Pelajaran Penting dari Filosofi “Bisa Rumangsa”

Dalam menjalani hidup, terutama di era kompetisi dan media sosial yang keras, sikap **Bisa Rumangsa** adalah tameng sekaligus kunci sukses sejati. Berikut adalah lima intisari kebijaksanaan yang bisa kita petik:

1. Kesadaran "Nrimo ing Pandum" (Menerima Porsi)

Orang yang **bisa rumangsa** sadar bahwa kemampuan yang dimilikinya adalah karunia, bukan milik mutlak. Kesadaran ini menumbuhkan sikap **Nrimo ing Pandum**, yaitu menerima segala kenyataan dengan lapang dada. Ketika kita dicela, kita bisa menerima kritik tersebut sebagai masukan tanpa harus merasa harga diri jatuh. Kita tahu bahwa ada porsi (batas) kemampuan kita, dan selalu ada ruang untuk belajar.

Ini adalah pelajaran fundamental: **Kepintaran tanpa kesadaran adalah kesombongan. Kesadaran adalah bekal menuju keikhlasan.**

2. Kepekaan Sosial dan Empati (Tepa Selira)

Aspek terkuat dari **Bisa Rumangsa** adalah **empati**. Orang ini memiliki kemampuan **Tepa Selira**, yakni kemampuan merasakan apa yang dirasakan orang lain. Dalam lingkungan kerja dan masyarakat, pemimpin atau individu yang memiliki sifat ini akan lebih dicintai dan dihormati.

Ia tahu kapan harus bicara dan kapan harus diam, bagaimana cara menegur tanpa melukai, dan bagaimana cara memberikan apresiasi yang tepat. Kualitas inilah yang membuat **Bisa Rumangsa** jauh lebih berharga daripada sekadar kecerdasan teknis (IQ) atau kekayaan materi.

Pepatah Abadi: “Wong pinter kalah karo wong becik, wong becik kalah karo wong sabar.”
(Orang pandai akan kalah oleh orang baik, dan orang baik akan kalah oleh orang sabar.)

3. Melawan Jebakan Sempurna di Era Digital

Di era digital, kita semua cenderung berperilaku **Rumangsa Bisa**—selalu ingin terlihat unggul di media sosial, selalu benar dalam komentar, dan selalu ingin didengar. Filosofi ini mengingatkan kita untuk melakukan sebaliknya. **Bisa Rumangsa** meminta kita untuk berhenti membandingkan dan mulai fokus pada proses introspeksi.

Jika kita terlalu fokus pada citra diri yang sempurna di luar, kita akan kehilangan kedamaian di dalam. Orang yang bijak tidak perlu mengumumkan kepandaiannya, karena sikap dan tindakannya sudah berbicara lebih banyak daripada kata-kata. Ini adalah kunci menuju kesehatan mental yang seimbang.

4. Menjunjung "Andhap Asor" (Kerendahan Hati)

Konsekuensi dari **Bisa Rumangsa** adalah munculnya sikap **Andhap Asor** (rendah hati). Layaknya padi, semakin berisi semakin merunduk. Orang yang memiliki pengetahuan sejati dan kebijaksanaan akan tampak sederhana dan tidak memaksakan kehendak.

Dalam konteks karier dan bisnis, rendah hati berarti kesediaan untuk terus belajar, menerima kegagalan sebagai pelajaran, dan menghargai ide dari junior sekali pun. Sikap ini membangun lingkungan yang kolaboratif, bukan kompetitif yang merusak. **Tanpa Andhap Asor, kepintaran hanya akan menjadi bumerang bagi diri sendiri.**

5. Tujuan Akhir: "Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku"

Pada akhirnya, pelajaran terbesar adalah bahwa ilmu sejati atau kebijaksanaan harus diwujudkan dalam **Laku** (tindakan). Inilah pepatah penutupnya: **“Ngelmu iku kelakone kanthi laku.”** Ilmu tidak hanya berhenti pada pemahaman konsep di kepala (*Rumangsa Bisa*), melainkan harus menjadi budi pekerti dan tindakan sehari-hari (*Bisa Rumangsa*).

Kebijaksanaan tidak diukur dari gelar, tetapi dari kemampuan menahan diri, berpikir panjang sebelum bertindak, dan secara konsisten menghargai martabat orang lain. Setiap manusia berada di antara dua titik ini—tujuan hidup kita adalah menemukan keseimbangan, bergerak dari ego menuju empati.

Penutup: Menuju Kehidupan yang Lebih Berkeadaban

“Rumangsa Bisa” dan “Bisa Rumangsa” bukan sekadar permainan kata. Yang pertama adalah cermin kesombongan yang memperingatkan, dan yang kedua adalah peta jalan menuju kerendahan hati dan kedamaian batin. Dalam masyarakat yang mendambakan keharmonisan, kecerdasan emosional dan spiritual yang direpresentasikan oleh **Bisa Rumangsa** jauh lebih dibutuhkan daripada sekadar kemampuan intelektual.

Jika setiap individu, dari pemimpin hingga anggota masyarakat, mampu menanamkan nilai ini dalam dirinya, masyarakat akan menjadi lebih damai, suportif, dan berkeadaban. Ini adalah hakikat sejati dari **Filosofi Jawa** dalam menciptakan manusia yang **seutuhnya** dan berguna bagi sesama.

Temukan lebih banyak refleksi mendalam mengenai pengembangan diri dan filosofi Jawa lainnya di www.jangkunglaras.id — ruang belajar kebijaksanaan hidup dan kearifan lokal.

Ditulis oleh Jangkung Sugiyanto – Refleksi Kebijaksanaan Jawa untuk Hidup Sehat Mental